
Rudiantara
Pandangan Rudiantara tentang Etika Bisnis
Saya mengenal Etika BIsnis lebih dari 35 tahun yang lalu, ketika saya masih menjalani proses pendidikan untuk meraih gear MBA di PPM School of Management yang pada saat itu masih bernama IPPM (Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen). Saya ingat Pak Pekerti membawakan mata ajaran tentang Etika Bisnis, dan hingga sekarang masih melekat dan terus saya implementasikan dalam keseharian saya, tidak hanya ketika menjalani peran sebagai pemimpin di BUMN, Swasta atau pemerintahan, namun juga dalam keseharian saya.
Saya ingat pada saat itu Pak Pekerti mengilustrasikan etika bisnis, tak ubahnya seperti nelayan yang hidup di tepi lautan lepas, tentu saja pasang dan surut senantiasa membayangi, dan ketika laut pasang, sang nelayan harus dapat beradaptasi dengan kondisi tersebut, karena ia telah mengambil keputusan untuk tetap bermukin di tepi lautan. Demikian pula ketika menjadi saya menjalani peran sebagai pemimpin, saya harus mampu beradaptasi dengan kondisi.
Dalam literatur yang berbeda saya juga menemukan filosofi Jawa yang juga relevan dengan apa yang disampaikan oleh Pak Pekerti di atas, mendiang Pak Harto pernah menyampaikan “Ngeli, Ning Ora Keli” atau mengarungi tetapi tidak hanyut, artinya ketika kita berada dalam posisi arus yang deras, kita ikuti arus tersebut, namun bukan hanyut namun kita arungi arus tersebut, sehingga tidak mengalami benturan yang membahayakan.
Bagi saya pribadi Etika Bisnis itu merupakan bagian dalam diri kita masing-masing yang kemudian kita jadikan sebagai value. Value yang dimiliki oleh tiap-tiap individu kemudian menjadi sebuah tatanan budaya sehingga bidaya etika bisnis tercermin dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga pada akhirnya kita tidak lagi mebatasi hanya menyoal Etika Bisnis namun lebih jauh dari itu, terciptanya tatanan kehidupan bermasyarakat yang beretika.
Saya mengambil sebuah contoh sederhana saja, biasanya menjelang hari besar keagamaan, saya pribadi banyak menerima hadiah atau yang sekarang kita kenal sebagai hantaran. Jika hantaran itu berupa makanan yang pada umumnya tidak bertahan lama, lewat asisten pribadi saya kemudian, hantaran makanan tersebut kami serahkan ke beberapa panti, namun dengan tetap dengan mengatasnamakan pengirim. Namun, jika hantaran tersebut berupa barang semisal peralatan makan, biasanya kami simpan untuk selanjutnya kami berikan dalam kesempatan family gathering sebagai doorprize, dan tetap mengatasnamakan pengirim sebagai pemberi hadiah.
Terus terang dalam posisi saya baik ketika masih di swasta, BUMN hingga ke kementerian, saya kerap menerima hadiah, untungnya asisten pribadi saya sudah sangat paham dan menyampikan secara halus bahwa saya tidak diperkenankan menerima hadiah, termasuk honor yang saya terima ketika saya menjadi pembicara atau membuka sebuah acara, juga saya kembalikan, tentunya dengan sopan agar tidak menyinggung yang telah memberikannya kepada saya.
Saya bekerja dengan hati, artinya ketika pekerjaan yang saya emban, masih sesuai dengan hati nurani saya, maka saya akan bertahan, tidak hanya itu, saya juga akan melakukan perubahan, sekecil apapun. Namun jika sebliknya, artinya saya sudah merasakan ketidaknyamanan, ketika ada hal yang mengganggu hati nurani saya, maka saya lebih baik mengundurkan diri.
Ketika Pak Jokowi menunjuk saya sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi pada Kabinet Kerja, yang pertama saya lakukan adalah melihat apa yang masih saya lakukan untuk membuat Kominfo menjadi lebih baik lagi. Temuan pertama saya pada saat itu adalah ketika saya menemukan begitu banyak talenta muda yang sangat cerdas yang selama ini tidak pernah terlihat di permukaan, artinya yang tampil hanya atasan-atasan mereka saja. Saya ubah seketika, saya bangun Tim 45 yang berisikan anak muda yang berusia dibawah 35 tahun, penuh semangat, cerdas dan inovatif. Pun saya juga membangun Tim 3 yang pada perkembangannya menjadi Tim 7.
Tim 45 dan Tim 3 ini tidak hanya semata semacam talent pool, namun juga menjadi sekumpulan agen perubahan yang saya harapkan meneruskan semangat perubahan ke seluruh lingkungan kementerian Kominfo, saya dapat mengatakan Tim 45 dan Tim 3 cukup berhasil mengemban harapan saya tersebut.
Dalam keseharian saya menjabat mentegri, saya selalu berkomunikasi dnegan Tim 45 dan juga Tim 3, dalam kesempatan tersebut biasanya saya sisipkan hal-hal yang berkaitan dengan etika bisnis. Hal ini saya lakukan karena saya berkeyakinan bahwa budaya etika bisnis tidak akan terwuud hanya dengan seperangkat aturan atau sistem semata, saya berkeyakinan melalui mentoring dan pola panutan, bisnis yang beretika akan jauh lebih mudah diwujudkan.
Etika Bisnis dalam Keseharian Rudiantara
Terlalu banyak hal yang berkaitan dengan etika bisnis ketika saya menjadi pemimpin jika sampaikan satu per satu, namun kembali saya tegaskan ketika kita mengemban tanggung jawab tersebut kita harus siap lahir bathin, dengan segala bentuk tanggung jawab dan konsekuensinya. Namun kesemuanya itu harus tetap bersandar pada kepentingan Negara, bukan lagi kepentingan pribadi kita.
Contoh ketika saya menjabat sebagai Wakil Dirut PLN, saya melihat ada kesepatakn bisnis yang sepertinya perlu dinegosiasi ulang, karena saya melihat ada potensi keruguan Negara yang cukup besar jika kesepakatan itu disetujui. Setelah saya memperoleh ijin dari Kementerian BUMN maka saya mengajukan proses negosisasi ulang, dan benar saja, kekhawatiran saya terbukti, buktinya kami berhasil menyelamatkan uang negara sekitar 600 juta US $.
Sama halnya ketika saya menjabat sebagai Menteri Kominfo saya berjanji pada diri saya, bahwa saya tidak akan menerika ajakan untuk menjadi bagian dari BOD atau Dewan Komisaris di perusahaan-perusahaan yang ijinnya saya yang mennandatanginya. Semata agar saya tidak berada dalam posisi konflik kepentingan.
Hal lain yang perlu saya sampaikan ketika saya menjabat sebagai Menteri, ketika melakukan kunjungan daerah saya menolak jika kunjungan tersebut dibiayai oleh daerah, karena memang kami memiliki anggaran untuk kegiatan tersebut. Demikian pula dengan oleh-oleh atau cinderamata yang biasanya memnag telah disipkan oleh pihak pemerintah daerah, sering kali saya menolak dengan halus. Termasuk untuk makan-makan, alih-alih mereka yang membayari, saya justru yang ‘traktir’ mereka karena memang sudah ada anggarannya.
Konsistensi nilai diri di tengah tantangan, sebgai pejabat publik misal kujungan daerah jangan dibiayai oleh daerah, karena sudah difasilitasi oleh Negara, jangan diberi oleh oleh. Kalo makan ayo makan aja, tetap saya yang traktir. Mungkin banyak orang yang belum mengenal saya akan dengan mudah mengatakan apa yang saya lakukan sebagai pencitraan. Bagi saya etika bisnis sudah menjadi values yang terus saya sematkan dalam keseharian saya.
Sebagai pemimpin sebaiknya kita memang terjun langsung ke lapangan, pahami secara utuh organisasi dimana kita berkarya. Ketika saya berkarya di Semen Gresik saya memutuskan untuk tinggal di Mess Karyawan, karena bagi saya ini lebih menyenangkan dan membuka kesempatan saya untuk berkomunikasi langsung dnegan banyak karyawan. Terus terang saya mendapat banyak ‘insight’ ketika hdup bersama para karyawan, sesuatu yang agak sulit saya dapatkan jika saya berjarak dengan mereka.
Saya melihat diri saya sekarang sebagai buah dari apa yang diajarkan oleh kedua orang tua dan juga guide lines dari agam yang saya anut. Dan tentunya dari proses pendidikan dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi. Kembali saya tegaskan ketika menyoal Etika Bisnis, kita kembalikan kepada diri kita masing-masing. Karena pada hakikatnya kita semua memiliki kesadaran untuk menilai apa yang kita kerjakan sudah benar atau sebaliknya.
Sebenarnya mudah saja untuk memahami hal ini, ketika kita akan mengambil keputusan, hela napas sebentar, dan coba pertanyakan pada diri kita sendiri, apakah keputusan yang kita ambil tersebut tidak memiliki potensi yang dapat menguntungkan diri kita secara pribadi atau tidak. jika memang ada keuntungan pribadi di dalam keputusan tersebut, kuatkan hati untuk bilang TIDAK!.
Ndi/05/20
Comments