Disarikan dari wawancara dengan Hari Prasetyo tentang Etika Bisnis
Pada suatu senja di hari Kamis, 22 Agustus 2019 bertempat di Ruang Eksekutif PPM Manajemen, Diyah Ratna Fauziana dan Titis Setyawardhani sebagai anggota Pelaksana Upaya PEBOSS (Pusat Etika dan Budaya Organisasi Soedarpo Sastrosatomo) mewawancarai Hari Prasetyo untuk menggali pemahaman beliau tentang etika bisnis dan penerapannya selama ini.
Pak Hari demikian panggilan akrabnya, merupakan staf professional senior di PPM Manajemen. Bergabung sejak Desember 1982, Pak Hari telah menjalani banyak peran di perusahaan ini, mulai dari pengajar di kelas-kelas pelatihan, konsultan untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia hingga jabatan direksi di PPM pun pernah diembannya. Di kalangan karyawan PPM Pak Hari dikenal ramah dan murah senyum. Guratan garis-garis wajah dan sebagian rambut yang telah memutih mempertegas kesenioran beliau termasuk dalam menggeluti etika bisnis dan manajemen. Dengan alasan inilah PEBOSS memilih Pak Hari menjadi narasumber wawancara terkait etika bisnis.
Definisi Etika
Dalam situasi santai dan sesekali canda tawa lepas, wawancara diawali pertanyaan definisi ‘etika bisnis’ menurut Pak Hari. Dalam pemahaman beliau etika merupakan pedoman dalam berperilaku, jadi ketika dikaitan dengan etika pribadi itu adalah bagaimana seseorang berperilaku. Dan jika terkait etika organisasi itu bagaimana perilaku organisasi. Demikian halnya Etika Bisnis dapat dikatakan bagaimana organisasi berbisnis. Jadi dapat dikatakan etika merupakan pedoman berperilaku dalam suatu lingkungan/bidang tertentu.
Perilaku di sini adalah tindak tanduk dalam berinteraksi dengan pihak lain yang bisa jadi berbeda latar belakang. Makanya setiap interaksi akan menimbulkan akibat yang berbeda-beda. Jika interaksinya itu bisa diterima berarti “tidak menimbulkan masalah”. Tapi jikalau interaksi itu tidak bisa diterima oleh pihak lain maka akan menimbulkan masalah. Pak Hari di sini mencontohkan perbedaan cara berbicara orang dari Batak Karo yang kencang saat bertemu dengan orang Jawa yang terbiasa berkomunikasi secara lemah lembut. Jika tidak ada pemahaman sebelumnya orang dari Jawa bahwa lawan bicara adalah orang Batak Karo yang berbicara dengan keras, bisa saja orang tersebut berbicara dengan marah. Sehingga interaksi yang etis memerlukan pemahaman latar belakang dari masing-masing pelakunya.
Etika Sebagai Standar Acceptancy
Kalau berperilaku hanya dalam konteks berkomunikasi inter-personal dampaknya tidak akan luas, tetapi jika terkait pengambilan keputusan untuk pihak lain/khalayak yang bisa terkena dampak atas keputusan tersebut. Di sini etika akan semakin memegang peran yang penting. Disini akan muncul problem acceptancy. Apakah keputusan yang diambil tersebut bisa diterima atau tidak? Merugikan atau tidak bagi khalayak yang terdampak? Di sinilah diperlukan standar acceptancy dalam berinteraksi, agar hasil keputusan tersebut dalam tingkat yang bisa diterima pihak yang terlibat dan terdampak.Karena setiap keputusan yang diambil akan membawa dampak baik atau buruk untuk pihak/khalayak terkait serta benar atau salah jika diberi penilaian.
Baik atau buruk versus salah atau benar dari suatu perilaku itu berbeda menurut Pak Hari. Misalnya beliau memberi contoh seseorang melanggar lampu merah di trafiic light. Pelanggaran atas aturan berlalu-lintas bisa dikatakan baik bagi beliau karena bisa jadi akan memberikan manfaat. Mengapa bisa demikian? Bisa jadi pelanggaran, yang jelas salah menurut aturan, dikarenakan kekuatiran pengemudi akan adanya ancaman yang mungkin akibat rasa takut, karena lingkungan sekitar yang tidak aman. Situasi pengambilan keputusan ini misalkan orang tersebut terkena lampu merah dan berhenti di daerah Tanjung Priok, sedangkan di sisi kanan serta kiri kita pengendara sepeda motor. Kita mengetahui ada potensi ancaman yang membahayakan, terlebih lagi dikarenakan dareah itu dikenal daerah rawan kejahatan. Sehingga tindakan kita melanggar lampu merah itu baik dan dibenarkan, untuk alasan keselamatan diri kita. Dan bisa kita katakan pelanggaran ini bisa diterima sebagai suatu sikap perilaku yang etis. Karena keselamatan jiwa merupakan standar paling tinggi dalam pengambilan keputusan yang etis.
Sikap berperilaku di dalam pengertian etika berarti landasan dalam pengambilan keputusan menggunakan saringan di pikiran dan saringan di hati. Selanjutnya dengan beragamnya individu dengan landasan keputusan masing-masing dan latar belakang budaya yang berbeda-beda pula, akan terdapat beragam perilaku. Lalu bagaimana menentukan nilai etis yang berlaku umum dan terstandarisasi? Standar perilaku etis adalah suatu yang bisa diterima umum, masuk secara logika dan rasa. Standar etika yang demikian bisa dirumuskan dalam suatu peraturan atau konvensi yang universal. Konvensi universal banyak dipakai sebagai landasan peraturan tertulis.
Jika kita membicarakan peraturan tertulis yang universal, menurut pak Hari adalah peraturan yang dapat meng-cover semua yang ingin diatur supaya etis. Namun seringkali begitu aturan tersebut dideskripsikan pada suatu peraturan, justru elemen-elemen universal itu menjadi hilang. Hal itu bisa jadi hal itu adalah konsekuensi, dan menjadi kecenderungan, jika kita secara birokrasi formal itu menghendaki segala sesuatu diatur supaya bisa dijadikan hitam diatas putih. Ternyata tidak bisa semuanya diatur secara tertulis dan akhirnya kembali kepada dasar yang melandasi dia bersikap. Lalu bagaimana sebaiknya aturan tertulis dibuat?
Peraturan Tertulis
Suatu aturan tertulis di dalam perusahaan misalnya, berisi aturan yang berlaku di dalam perusahaan, demikian halnya suatu aturan tertulis di dalam satu asosiasi berarti aturan main pada di asosiasi tersebut, atau aturan dalam satu wilayah geografis berarti aturan main dalam satu wilayah geografis tersebut. Jadi aturan tertulis berlaku sesuai batasan yang dimuat di dalamnya. Misalkan batasan itu bisa di rumah tangga, di RT atau di sebuah negara.
Jika semakin rigid atau kaku suatu peraturan dibuat, maka dampaknya akan membatasi gerakan mengatur orang-orang yang terkait di dalamnya. Tetapi jika peraturan tertulis dibuat longgar akan membuat situasi menjadi tidak nyaman, karena minimnya panduan bertindak. Idealnya peraturan tertulis cukup memuat hal universal yang memandu perilaku di organisasi. Jika demikian maka dibutuhkan suatu instrumen yang lain sejenis petunjuk untuk menunjang teknis pelaksanaan. Oleh karena itu akan ditemui banyak wilayah yang tidak jelas (abu-abu). Maka dengan adanya daerah yang abu-abu tersebut membutuhkan “kedewasaan” dalam berfikir dan bertindak. Maksudnya kedewasaan itu adalah orang harus menimbang sebelum bertindak atau memutuskan.
Dalam praktiknya, perilaku pejabat saat mengambil keputusan dalam kapasitas fungsi/wewenangnya di dalam organisasi, seringkali berada dalam situasi ketika yang bersangkutan mengikuti aturan main saja. Jika demikian yang terjadi, pejabat tersebut bisa terjebak hanya takut salah. Oleh karena hal seperti itu, organisasi menjadi sangat birokratik, dan berjalan diatur ketat oleh aturan main. Situasi demikian akan menjebak pada situasi emosional, perilaku, dan pola pikir insan yang di dalamnya terpolarisasi pada pilihan salah atau benar. Dan jika hal seperti itu berlanjut yang kemudian terjadi adalah perilaku menghindari kesalahan, dan lebih parahnya jika tidak berani mengambil sesuatu. Padahal saatnya diperlukan menimbang secara dewasa dalam mengambil keputusan.
Keputusan Etis untuk Mengembangkan Masyarakat dan Memberi Manfaat
Berperilaku etis menuntut pada pola pemikiran yang lebih dewasa dari sekedar mengikuti peraturan yang telah ditulis. Peraturan tertulis di dalam hal ini merupakan prasyarat dasar yang harus dipenuhi. Sikap dewasa dituntut untuk memahami dampak lanjutan dari perbuatan, perilaku dan keputusan yang dibuat. Pak Hari kembali mengambil contoh perbuatan seseorang melanggar lampu merah, namun di sini ditekankan dampak jika perbuatan kita dilihat oleh anak-anak. Anak itu punya hak untuk mendapat lingkungan yang baik dan benar. Sedangakan kita saat itu memberikan contoh yang tidak benar. Bisa diartikan pelanggar lampu merah “melakukan hak saya”, tapi melalaikan melakukan kewajibannya untuk mengembangkan masyarakat. Dalam hal ini mendidik anak-anak untuk mentaati lampu lalu-lintas.
Dan jika mau “meningkat lagi” itu adalah aspek “Apakah saya mengambil keputusan itu memberikan manfaat? Diluar hak dan legal. Manfaat itu secara manfaat langsung kepada pihak yang berinteraksi maupun manfaat bagi pihak yang tidak berinteraksi. Di dalam etika bisnis itu seharusnya interaksi, perilaku dan keputusan seharusnya beyond the regulation. Sudah tidak membicarakan dengan hak dan kewajiban lagi. Tapi apakah keputusan organisasi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi stake-holder termasuk masyarakat luas. Terkadang manfaatnya masih hanya bagi pihak yang berinteraksi, serta interaksinya-pun masih hanya melibatkan dua pihak, tapi tuntutan etika adalah manfaat termasuk bagi pihak ketiga dan masyarakat luas. Kalau kita sudah sampai di level ini, kita telah berpikiran jauh ke depan maka di situlah the spirit etika bisnis.
Menjelang jeda wawancara untuk menyeruput minuman Pak Hari menceritakan kisah berikut:
“Di WA group kemarin, seorang pimpinan, salah satu pemegang saham bertemu dengan mitranya, yang punya beberapa bisnis, dalam situasi-situasi yang agak berat turun ya nggak baik, sehingga organisasi cukup “bleeding”, di dalam finansialnya. Ini sobat yang lama udah lama, ya maka dia minta saran, apa yang disarankan?
Maka keluar satu yang disarankan, Bapak kan owner, punya manajemen, maka bapak punya bisa ngambil keputusan, wewenang untuk ambil keputusan. Dan sebagai owner dan manajemen punya hak keputusan untuk menyelamatkan organisasi. Caranya apa? Kalau pendapatan sudah lebih kecil dari biaya secara logika adalah cost-cutting, Cost cutting yang cepat itu adalah yang mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu. Kapasitas produksi yang berlebih dipotong itu kan? Yang paling cepat ya.. lepas orang.
Maka disitulah etika bisnis bermain. Dia tidak bisa menerima itu, tambah marah. Kenapa marah? Kenapa yang di dalam otak itu hanya “memikirkan diri sendiri”? Saya punya hak, anda memikirkan atau tidak? Anak karyawan dan istri perlu makan. Dan kita dulu besar karena dia, begitu kita turun dia kita hilangkan. Etikamu dimana?”
(SAP)
Bình luận