top of page
  • Instagram
  • Whatsapp
  • LinkedIn Social Icon
Search

Etika Bisnis: Keniscayaan demi Keunggulan

Writer's picture: PEBOSS PPM - PrisaptaPEBOSS PPM - Prisapta


















Natalia Soebagjo


Sejak masalah etika bisnis pertama menjadi perhatian para filsuf dan akademikus di Amerika Serikat pada tahun 1970-an, topik ini telah berkembang menjadi bagian dari kosakata sehari-hari para pelaku usaha. Sekarang business ethics tidak saja menarik sebagai suatu ilmu akademis, tetapi merupakan tantangan bagi pelaku usaha untuk menerapkannya dalam menjalankan bisnis mereka.


Etika bisnis pada umunya diartikan sebagai penerapan norma-norma etika dalam berbisnis. Bagi Horton etika bisnis adalah: “The system of moral and ethical beliefs that guides the values, behaviors, and decisions of a business organization and the individuals within that organization.” Dengan kata lain, etika bisnis adalah masalah bagaimana menerapakan apa yang kita anggap ‘baik’dalam organisasi bisnis.


Secara intuitif, kita mengetahui apa yang baik dan buruk namun seringkali lebih mudah mengetahui apa yang ‘tidak baik’ daripada yang ‘baik’. Kita tahu bahwa berbuat curang, melakukan perdagangan manusia atau narkoba, memperkerjakan anak, melalukan suap dan sebagainya adalah perbuatan tercela. Apalagi hal-hal yang ‘tidak baik’ tersebut telah dikodifikasi dalam berbagai peraturan hukum. Dengan demikian, berperilaku baik dan etis bisa saja disederhanakan menjadi sekadar mematuhi hukum. Akan tetapi, business ethics menuntut lebih dari itu, bukan hanya taat hukum atau compliant dengan berbagai standar yang telah ditetapkan oleh negara, lembaga pengawasan dan asosiasi industri.


Ferrel menawarkan defines etika bisnis yang menggunakan perspektif manajerial, yaitu;

‘decisions about what is right or wrong (acceptable or unacceptable) in the organizational context of planning and implementing business activities in a global business environment to benefit: organizational performance, individual achievement in the workplace, social acceptance and approval of peers and coworkers in the organization as well as responding to the needs and concerns of relevant internal and external stakeholders.’


Lebih jelas lagi,

‘Business ethics involves the critical analysis of human decisions and actions in order to determine the “rightness” and “wrongness” in terms of not only normative values (such as truth and justice) developed from philosophical reasoning, but also such factors as current societal expectations, collective impact, fair competition, aesthetics and international responsibility

Dengan kata lain, bicara etika bisnis berarti bicara soal kepedulian sesama, baik di dalam perusahaan maupun di luar.



Business case untuk etika bisnis


Mungkin masih ada saja yang beranggapan bahwa keberhasilan suatu perusahaan tetap dapat diraih tanpa mengindahkan nilai-nilai etika yang baik, namun pada umumnya, seseorang mendirikan perusahaan untuk membangun suatu usaha yang langgeng sekaligus menguntungkan. Bisnis yang etis mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mencapai kedua sasaran tersebut.

Para pebisnis yang mempunyai visi, memahami bahwa bisnis yang beretika memiliki nilai tambah. Dewasa ini, para stakeholder suatu bisnis semakin menuntut kepedulian pada prinsip-prinsip etik. Perusahaan yang etis akan lebih mudah menarik pemodal dan konsumen yang menganggap penting praktek-praktek bisnis yang akuntabel, transparan dan bersih dari korupsi. Perusahaan yang memperlakukan karyawannya dengan baik dapat menghasilkan karyawan yang setia dan ingin melakukan yang terbaik untuk kepentingan perusahaan, sekaligus dapat menarik professionals yang mumpuni. Perusahaan yang tidak merusak lingkungan dikenal sebagai perusahaan yang mempunyai komitmen jangka panjang dan kepedulian pada kesehatan bumi dan mahluk hidup. Reputasi sebagai perusahaan yang mempunyai visi akan terbangun dan kepercayaan public akan semakin tinggi. Dengan demikian, perusahaan menunjukkan bahwa mereka ingin meraih excellence, mengungguli pesaing mereka.


Dua puluh tahun yang lalu, sudah disadari bahwa tanggung jawab pebisnis bukan saja kepada para pemegang saham ataupun investor mereka, tetapi juga pada masyarakat lebih luas karena perilaku usaha mereka menyangkut faktor-faktor environment, social dan governance (ESG). Kala itu, Perserikatan Bangsa-bangsa membentuk UN Global Compact, suatu kesepakatan antar pebisnis untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Sepuluh prinsip berkaitan dengan hak-hak azasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan dan anti-korupsi dijabarkan untuk diterapkan oleh dunia swasta, berkolaborasi dengan badan-badan PBB, sektor publik, dan masyarakat sipil. Sekarang sudah lebih dari 9,500 perusahaan besar dan kecil, dari berbagai sektor, tersebar di 160 negara, yang terlibat dalam UN Global Compact. Pada tahun 2006, Indonesian Global Compact Network (IGCN) dibentuk dan sekarang 60 perusahaan dan 31 lembaga non-bisnis sudah tergabung dalam jaringan ini.


Tentu saja tidak berarti bahwa apabila kita memimpin suatu perusahaan yang etis otomatis akan berdampak positif pada laporan keuangan kita. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kita harus rela melepaskan suatu peluang usaha karena tidak seirama dengan prinsip-prinsip perusahaan. Akan tetapi, yang dapat dipastikan adalah apabila kita tidak etis, bersedia mengorbankan nilai-nilai normative yang dianut perusahaan, semata demi keuntungan yang besar, kerugian akan lebih besar saat ditemukan bahwa perusahaan telah menyalahi nilai-nilai tersebut.


Sebagai contoh, Enron Corporation sampai sekarang masih diingat sebagai perusahaan yang melanggar norma-norma etika. Nama perusahaan sinonim dengan kata ‘skandal’. Perusahaan energi dan perdagangan yang didirikan pada tahun 1985, dan pernah dinobatkan sebagai perusahaan Amerika yang paling inovatif 6 tahun berturut-turut oleh majalah Fortune untuk on-line commodities trading platformnya, akhirnya paillit pada tahun 2001. Ternyata Enron telah memalsukan laporan keuangannya dengan sengaja untuk menyembunyikan kerugian-kerugian perusahaan di special purpose vehicles (SPV) dan mengelabui publik serta para investornya. Auditornya, Arthur Andersen, salah satu dari Big Five perusahaan accounting terkemuka di Amerika saat itu, turut terseret dan bubar karena kehilangan kepercayaan klien mereka akibat meloloskan laporan-laporan keuangan Enron.


Contoh lain yang mempertanyakan etika suatu perusahaan besar Amerika Serikat adalah kasus Boeing 737 Max-8, pesawat Boeing paling mutakhir. Akhir tahun 2018, penerbangan Lion Air yang menggunakan jenis pesawat tersebut jatuh dengan korban 189 penumpang. Tidak ada satu pun jiwa yang selamat. Beberapa bulan kemudian, hal yang sama terjadi pada penerbangan Ethiopian Airlines dari Addis Ababa ke Nairobi. Semua penumpang dan crew meninggal, 157 nyawa hilang. Kuat dugaan perusahaan Boeing mengetahui bahwa terdapat kelemahan dalam piranti lunak sistem pengendali pesawat yang menyebabkan pesawat secara otomatis menukik turun bila pesawat dianggap terlalu tajam naik di udara. Terkesan di mata publik bahwa pimpinan Boeing lebih mengutamakan keuntungan perusahaan daripada nyawa manusia. Nama baik Boeing tercoreng. Alhasil, Boeing terpaksa menghentikan produksi pesawat, yang sebetulnya laku keras. Perusahaan-perusahaan penerbangan yang telah membeli Max-8 dilarang menerbangkan pesawat tersebut dan 40 negara telah melarang Max-8 melintas di jalur udara mereka. Pada bulan Januari 2020, Boeing melaporkan kerugian US$636 juta untuk tahun buku 2019, pencatatan kerugian yang pertama sejak tahun 1997. Sampai sekarang belum diketahui apakah Boeing 737 Max-8 akan bisa terbang lagi.


Masih berkaitan dengan industri pesawat terbang, pada bulan Mei 2020, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp.1 milyar karena menerima suap untuk pengadaan pesawat Airbus dan mesin Rolls-Royce. Selain dituntut karena suap, Satar juga dihukum karena telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Ketika kasus ini pertama kali terkuak pada tahun 2017, harga saham PT Garuda Indonesia di Bursa Efek Indonesia langsung turun, meskipun pada waktu itu Satar tidak lagi menduduki jabatan direktur utama. KPK ajukan banding atas putusan hakim karena lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yaitu 12 tahun, sedangkan Satar juga akan naik banding karena menganggap bahwa hukumannya terlalu berat. Apapun putusan akhirnya, nama baik Satar yang pernah dianggap sebagai salah satu CEO Indonesia terbaik hancur dan efektivitas sistem GCG dan kontrol PT Garuda Indonesia dipertanyakan. Yang disesalkan adalah perusahaan penyuap, yaitu Rolls Royce, lolos begitu saja dengan permohonan ma’af dan denda £671 juta, padahal telah mengakui bahwa mereka telah menyuap secara besar-besaran para pejabat dan pimpinan perusahaan di tiga benua selama 30 tahun. Meskipun demikian, reputasi Rolls Royce di mata publik tetap turun.



Membangun budaya etis perusahaan


Di negara-negara berkembang, praktek suap masih marak dan besar kemungkinan melibatkan perusahaan besar dari negara maju, seperti contoh kasus Rolls Royce dan Garuda Indonesia. Menurut Global Corruption Barometer 2017 yang mencakup 16 negara di Asia-Pasifik, lebih dari 25% penduduk di kawasan tersebut terpaksa membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik. Lembaga yang dianggap paling korup adalah aparat kepolisian, disusul oleh anggota parlemen. Pejabat pemerintah pusat dan daerah menempati urutan ketiga. Di kawasan Asia Tenggara, sebab mengapa masyarakat menyuap pejabat publik adalah untuk melicinkan masalah (55%), bukan untuk mendapatkan layanan publik lebih murah (10%).


Padahal, sejak tahun 1999, 29 negara anggota OECD sudah menanda-tangani Anti-Bribery Convention yang kemudian melahirkan berbagai standar internasional dan rekomendasi berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Menyadari betapa besarnya korupsi dapat menghambat pendaya-gunaan efektif sumber negara, jumlah negara yang memiliki komitmen pada konvensi OECD tersebut kini sudah bertambah menjadi 50 negara. Selain menetapkan standar-standar tingkat global, OECD juga menyediakan berbagai tools agar pengambil kebijakan dapat menerapkan standar-standar tersebut. Kini lembaga-lembaga multi-lateral dan donor, World Bank Group, G20 dan sebagainya telah menunjukkan komitmen mereka pada upaya pemberantasan korupsi. PBB, misalnya, memberlakukan Convention Against Corruption sejak tahun 2005 dan jumlah negara yang sepakat untuk menandatangani konvensi tersebut sudah mencapai 187 negara dan wilayah, termasuk Indonesia. UNCAC mencakup berbagai bentuk korupsi, antara lain, suap, jual-beli pengaruh, penyalahgunaan jabatan dan juga korupsi di sektor swasta. Pemberantasan korupsi sudah menjadi suatu komitmen universal.


Kemajuan Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi termasuk lamban, meskipun ada kemajuan. Indonesia kini masih menduduki urutan ke-85 dari 180 negara yang diikutsertakan dalam survey TI Corruption Perception Index 2019 dengan score 40. Di ASEAN kita menempati urutan ke-4 sedangkan score Malaysia, dengan urutan ke-3, adalah 53, jauh lebih baik dibandingkan kita. Untuk memperbaiki score, Transparency International Indonesia mengusulkan berbagai langkah. Salah satu diantaranya adalah agar pengelolaan dan pencegahan benturan kepentingan diperbaiki, apalagi dalam kondisi dimana pemegang kekuasaan dan pengaruh di lembaga-lembaga eksekutif pemerintah masih mempunyai hubungan erat dengan sektor swasta dan kepentingan partai politik.


Bergerak dalam konteks yang sedemikian rupa, bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia, korupsi merupakan tantangan tersendiri. Dari 1,032 tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, 683 (66%) adalah kasus suap, disusul oleh korupsi di bidang pengadaan.barang dan jasa (20%). Para pelakunya, 26% adalah pebisnis dan korporasi. Bahkan, masih banyak yang menganggap korupsi tidak terlalu penting dan merupakan hal biasa. Mungkin saja persepsi seperti ini didorong oleh anggapan bahwa terpidana korupsi tidak dihukum secara tegas sehingga tak menimbulkan rasa jera.


Para pimpinan perusahaan yang masih belum juga sadar akan manfaat budaya bersih, akan menemukan bahwa ruang gerak untuk bersikap korup hari demi hari semakin sempit. Oleh karena sulit menjatuhkan putusan pidana korupsi kepada korporasi, Mahkamah Agung menerbitkan peraturan no. 13 tahun 2019 yang memungkinkan aparat penegak hukum memidanakan perusahaan bila korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana korupsi, melakukan pembiaran terjadinya tindak pidana korupsi, tidak melakukan pencegahan ataupun tidak melakukan pencegahan pelanggaran ketentuan hukum yang berlaku. Dengan adanya peraturan tersebut, semakin penting bagi pebisnis untuk membangun budaya etis dalam perusahaannya untuk lebih baik mengelola risiko.


Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan mengacu pada “Business Principles of Countering Bribery” yang mulai dirumuskan oleh Transparency International pada tahun 2003 bersama pelaku usaha dan melalui konsultasi publik yang luas. Prinsip-prinsip tersebut merupakan acuan bagi perusahan besar-kecil yang ingin membangun budaya bersih melalui suatu program anti-suap yang komprehensif. Bagaimana suatu perusahaan harus menangani risk assessment, konflik kepentingan, kerjasama dengan sektor publik, peran lobbyist, facilitation payments dan bagaimana melaporkannya tercakup dalam prinsip-prinsip tersebut. Meskipun terfokus pada suap, instrumen ini banyak mempengaruhi upaya-upaya anti-korupsi lain. Bahkan pada tahun 2004, UN Global Compact kemudian melengkapi prinsip-prinsip mereka dengan prinsip ke-10 khusus mengenai korupsi.


Transparency International Indonesia bersama para mitranya mengembangkan business principles tersebut menjadi suatu business integrity toolkit, yang kemudian didukung oleh suatu instrumen daring (http://sintesis.or.id) yang mudah digunakan oleh perusahaan. Toolkit menjelaskan enam langkah yang perlu diambil untuk membangun budaya bersih, yaitu pimpinan perusahahaan perlu menyampaikan komitmennya pada anti-korupsi kemudian memetakan risiko korupsi yang dihadapi perusahaan dalam menjalankan berbagai business processes perusahaan. Berdasarkan pemetaan tersebut, kebijakan anti-korupsi dirumuskan. Setelah itu, menyampaikannya dan memberi pelatihan pegawai; menyelesaikan dilemma dan pengaduan korupsi; dan terakhir melaporkan atau mempublikasikan program antikorupsi tersebut.


Pakta integritas yang diusulkan TI juga mulai diterapkan oleh beberapa perusahaan dan tujuannya adalah untuk membersihkan proses pengadaan dari praktek2 tak adil. Korupsi dalam pengadaan merupakan modus tipikor paling sering dilakukan setelah suap. Dengan demikian, pakta integritas bukan sekadar janji untuk tidak melakukan praktek-praktek curang, tetapi merupakan komitmen antara suatu perusahaan dengan pemasok mereka untuk transparen dan adil dalam proses pengadaan, di bawah pemantauan pihak independen.

Instrumen lain yang dapat digunakan adalah sertifikasi ISO 37001, yang sudah diadopsi oleh Badan Standardisasi Nasional sebagai SNI ISO 37001 pada bulan Oktober 2016 lalu. Instrumen ini membantu perusahaan untuk mengembangkan, mengimplementasi, memelihara dan terus memperbaiki suatu program anti-korupsi sesuai kebutuhan dan kondisi perusahaan. Yang terkacup dalam instrumen ini tidak terlalu berbeda dengan ke-6 langkah SINTESIS, namun lebih mendetil dan komprehensif. Perusahaan-perusahaan yang maju juga mentaati standar-standar governance, risk management dan compliance yang turut membantu membangun budaya bersih perusahaan.

Membangun budaya etis dalam perusahaan bukan saja karena “it is the right thing to do” tetapi juga untuk mengurangi biaya berbisnis karena mengatur suap, sogok menyogok, perlu biaya dan waktu. Belum tentu juga, jalan kotor seperti itu akan membuahkan hasil namun justru menimbulkan ketidak-pastian. Pada akhirnya, saat perilaku tak etis dan pelanggaran hukumnya terbongkar, biaya finansiil dan non-finansiil yang harus dipikul akan tinggi tanpa kepastian berapa. Seperti yang dijelaskan oleh KPK, “dengan melakukan pencegahan korupsi, dapat menghindarkan korporasi dan insan korporasi dari dampak negatif misalnya hukuman penjara (badan), kerugian finansial, rusaknya nama baik (reputasi), kehilangan klien/pelanggan, serta besarnya biaya investigasi dan litigasi bila perkara dibawa ke dalam ranah penegakan hukum”.



Mengukur keberhasilan


Untuk mengetahui sejauhmana suatu perusahaan telah menerapkan etika bisnis, Transparency International menggunakan instrumen Transparency in Corporate Reporting (TRAC). Melalui riset dokumen-dokumen publik perusahaan dan validasi perusahaan yang bersangkutan, TI dapat melihat sebesar apakah komitmen suatu perusahaan pada bisnis yang etis. TRAC melihat apakah suatu perusahaan telah melaporkan program anti-korupsi mereka; membeberkan struktur keuangan dan pemilikan anak-anak perusahaan; serta melaporkan keadaan keuangan perusahaan per negara keberadaannya. Untuk masing-masing aspek ada beberapa variable.


Sebagai contoh, dalam penilaian program antikorupsi, yang dikaji adalah apakah perusahaan memiliki atau menjalankan hal-hal sebagai berikut:

  • Komitmen anti-korupsi/zero-tolerance

  • Komitmen patuh hukum

  • Dukungan pimpinan

  • Kebijakan whistleblowing yang menjamin kerahasian identitas pelapor

  • Pelaporan korupsi dengan jaminan perlindungan dari tindakan retaliasi

  • Kebijakan gratifikasi

  • Pelarangan uang pelicin

  • Larangan/transparansi kontribusi politik

  • Kode etik yang berlaku bagi pegawai dan direktur

  • Kode etik bagi semua pihak ketiga

  • Kode etik bagi penyedia barang dan jasa

  • Pelatihan bagi pegawai dan direktur

  • Pemantauan program anti-korupsi secara berkala

Pada tahun 2017, TII melakukan penilaian atas 100 perusahaan Indonesia terbesar dan menemukan bahwa meskipun lebih dari dua pertiga perusahaan (67%) cukup terbuka dengan laporan struktur mereka, hanya 38% melaporkan adanya program pencegahan korupsi. Mereka kuat dalam mengadakan kebijakan whistleblowing, tetapi lemah dalam memberi pelatihan bagi pegawai dan direksi soal program pencegahan korupsi perusahaan. Saat evaluasi yang sama dilakukan atas 105 BUMN, ditemukan bahwa ternyata lebih banyak BUMN mempunyai program pencegahan korupsi, yaitu 56% akan tetapi BUMN cenderung menekankan kepatuhan pada hukum, meskipun perlindungan pelapor korupsi dari retaliasi juga ditekankan.


Bila para pemangku kepentingan, termasuk pejabat publik dan media, mempunyai akses atas pelaporan seperti ini, komitmen pencegahan korupsi perusahaan dapat dipantau. Bagi pebisnis sendiri, menjadi bagian dari proses ini secara berkala, berguna untuk melihat efektifitas program anti-korupsi dan merupakan bukti kesungguhan mereka membangun perusahaan yang etis.


Perlu digaris-bawahi bahwa untuk menjaga keberhasilan suatu program anti-korupsi, terutama di Indonesia, komitmen pimpinan sangat penting sebagai panutan. Bila pimpinan menyuarakan pendiriannya bahwa ia tidak akan memberi toleransi terhadap praktek-praktek korup dan memperkuat ucapannya dengan perilaku konsisten dengan pendiriannya, maka akan lebih mudah membangun etos yang sama dalam perusahaan. Dengan demikian akan lebih mudah mendapat dukungan dari management dan staff untuk membangun suatu sistem yang tangguh. Banyak contoh dimana begitu tone from the top berubah dan komitmen pimpinan berkurang, sistem-sistem yang telah dibangun kemudian mulai diabaikan, tidak lagi secara sungguh ditaati dan organisasi bisa merosot kembali ke praktek-praktek buruk sebelumnya. Oleh karena itu, transparansi dan pelaporan publik program-program anti-korupsi dapat membantu menjaga keberlanjutan program anti-korupsi, siapapun pimpinan perusahaan.



Masa depan etika bisnis


Apabila Indonesia ingin memiliki lebih banyak perusahaan yang bernama baik, pebisnis kita perlu menyadari bahwa berperilaku etis bukan berarti sekedar mentaati peraturan, tetapi merupakan sesuatu yang mutlak untuk dapat bersaing dan menjadi unggul. Melihat kemajuan ekonomi negara-negara, bertambahnya jumlah kelas menengah, meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat, dan menguatnya kesadaran akan pembangunan berkelanjutan, para pemangku kepentingan perusahaan-perusahaan semakin menuntut adanya perhatian pada aspek-aspek tata kelola yang baik, komitmen pada pemberantasan korupsi, perhatian pada lingkungan serta penghormatan pada hak2 azasi manusia. Tentu dalam mengindahkan norma-norma tersebut, perusahaan perlu juga mencatat laba akan tetapi upaya mengejar laba perlu diimbangi dengan kepedulian masyarakat dan kepentingan umum. Ironisnya, pada saat masyarakat menjadi semakin makmur, ketimpangan ekonomi serta kesenjangan sosial juga semakin melebar dimana yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.


Dengan adanya pandemi Covid-19, yang sudah menjangkit hampir lima juta orang di 213 negara dan kawasan, kita terancam oleh resesi dunia. Sepanjang masa pembatasan sosial dan lockdown selama berbulan-bulan di begitu banyak negara, kita mulai mempertanyakan paradigma pembangunan ekonomi global dan cara kita masing-masing mengejar kemakmuran selama ini. Diskursus mengenai circular economy dan doughnut economy mulai menarik perhatian saat kita dijadikan sadar bahwa kita perlu merubah pola hidup kita bersama. Akan terjadi pergeseran dari pemanfaatan sumber daya alam kita yang ekstraktif dan merusak, ke yang lebih mementingkan keberlanjutan dan nilai-nilai etis. Pelaku bisnis perlu mengikuti perubahan zaman ini. Jelas bila ingin membangun perusahaan yang unggul, pebisnis tidak cukup dengan mengejar laba dan memperkaya pemegang saham saja. Pebisnis perlu membangun perusahaan yang berbudaya etis, mempunyai kepedulian sesama dan lingkungan, serta mempunyai visi ke depan yang memperhitungkan the greater good. Sudah tersedia banyak pedoman, standar dan instrumen yang dapat membantunya mewujudkan ini. Pertanyaan kuncinya adalah bersediakah?



Natalia Soebagjo

Mantan Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia









7 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Daftar dan anda akan update terkait PEBOSS!
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey LinkedIn Icon
  • Grey Facebook Icon

© 2023 by Talking Business.  Proudly created with ADVANWix.com

bottom of page