top of page
Search

Digital Fraud: Strategi Penanganan dan Pencegahannya

Writer's picture: PEBOSS PPM - PrisaptaPEBOSS PPM - Prisapta

Dr. Hery Subowo, CFE.


Pada Selasa, 19 Agustus 2024 diselanggarakan kuliah umum berjudul "Digital Fraud" oleh Sekolah Tinggi Manajemen PPM dengan narasumber Dr. Hery Subowo, CFE. Beliau saat ini merupakan President ACFE (Association of Certified Fraud Examiner) Indonesia Chapter dan sebagai Staf Ahli Bidang Manajemen Risiko BPK RI. Dalam acara yang diadakan secara daring ini, diikuti oleh tenaga pengajar, mahasiswa dan alumni di lingkungan STM PPM.


Digital fraud adalah tindakan penipuan yang dilakukan melalui teknologi digital, seperti internet, perangkat lunak, atau perangkat elektronik. Ini mencakup berbagai aktivitas ilegal seperti pencurian identitas, phishing, hacking, dan penipuan yang menggunakan teknologi digital. Dengan meningkatnya penggunaan perangkat digital dalam kehidupan masyarakat, terjadi pula peningkatan kejahatan melalui digital fraud ini.


Dalam digital fraud unsur yang dilakukan meliputi:

  1. Pelaku, merupakan individu dan kelompok baik di dalam

    maupun luar organisasi yang melakukan fraud.

  2. Penyembunyian, disini pelaku bermaksud melakukan penipuan, berperilaku tidak jujur dan penyembunyian perbuatan jahat dengan teknologi digital.

  3. Kerugian, adalah akibat perbuatan fraud yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau organisasi.

  4. Material / non-material, akibat fraud adalah kerugian yang dapat bersifat material maupun non-material.

  5. Kesengajaan, perbuatan dapat disebut fraud jika dilakukan dengan sengaja oleh pelakunya.

Jika terdapat kelima unsur tersebut dalam suatu kejadian gangguan pada sistem digital, maka dapat memenuhi untuk disebut sebagai digital fraud.


Perilaku koruptif mengikuti perkembangan kemajuan, termasuk di dalamnya digital fraud yang menggunakan teknologi informasi yang makin luas pemakaiannya baik sektor publik, swasta maupun ranah pribadi. Perilaku yang merusak tatanan kehidupan ini, sering diteliti dan menurut hasil penelitian dari beberapa sudut pandang penyebabnya dapat disampaikan sebagai berikut:

  • Korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (Robert Klitgaard).

  • Faktor yang berpengaruh terhadap fraud adalah adanya kesempatan, motivasi pendorong, dan rasionalisasi yang menguntungkan (Donald R Cressey).

  • Korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma (Robert Merton).

  • Korupsi dibedakan menjadi: korupsi karena kebutuhan, korupsi karena ada peluang, korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri, korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah, dan korupsi karena ingin menguasai suatu negara.

  • Jack Bologne merumuskan GONE: Greed + Opportunity + Need + Expose

    Jadi dalam pandangannya faktor-faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan (Expose).


Sejalan dengan hal tersebut perilaku fraud dari sisi penyebabnya telah mengalami evolusi dari tahun ke tahun. Pada penelitan awal terdapat teori Fraud Triangle (Donald Cressey,1953), di mana penyebab fraud adalah pressure, rationalization, dan opportunity. Berkembang pada peneltian berkutnya Fraud

Diamond (Wolve &Hermanson, 2004), Fraud Pentagon (Crowe Horwath, 2011) dan terkini Fraud Hexagon (Georgius L. Vousinas, 2016) dengan enam penyebabnya dengan tiga penambahan meliputi : arrogance, competence dan collusion.


Perilaku kejahatan dengan fraud digital sebagai salah satu manifestasinya muncul akibat tekanan, bisa karena ekomoni maupun sosial yang mendesak seseorang berbuat jahat. Penyebab berikutnya adalah rasionalisasi, yang dapat diartikan tindakan kejahatan yang dilakukan memberikan keuntungan dengan cara yang mudah dan dalam hitungan pelaku masih untung meskipun ketahuan. Serta kejahatan akan terjadi karena ada peluang atas kondisi yang ada.


Dorongan menonjolkan diri atau arogansi mendorong seseorang melakukan fraud, ada perasaan bangga atas pencapaian ekonomi yang dapat dipamerkan ke lingkungan sosialnya. Dengan kemajuan teknologi dan organisasi yang makin ketat, untuk melakukan fraud diperlukan kompetensi untuk memanipulasi teknologi dan prosedur, serta berkolusi dengan pihak terkait untuk menutupi dan memuluskan kejahatan fraud yang dilakukan agar tidak ketahuan.


PROSES TERJADINYA FRAUD


Proses fraud terjadi diawali dengan adanya faktor risiko pelanggaran, yaitu adanya kesempatan, desakan dan pertimbangan yang masuk akal untuk berbuat. Selanjutnya setelah pemicu, pelaku membuat rencana untuk berbuat pelanggaran, diikuti dengan aksi kejahatan yang melanggar dan upaya menutupi jejak kejahatan dengan menyangkal dan berbohong.


Akibat dari pelanggaran / fraud yang dilakukan akan memberikan keuntungan kepada yang terlibat. Namun di sisi lain organisasi akan menderita kerugian material dan non material. Bahkan pada gilirannya bisa memiliki dampak yang membahayakan masyarakat.


Contoh yang sederhana misalnya pembangunan gedung SD di pedesaan. Kontraktor harus melakukan suap untuk dapat mendapatkan pekerjaan ke pimpinan proyek, dengan demikian terjadi kolusi. Ketika pembangunan dilakukan pemborong akan memanipulasi spesifikasi teknis sehingga terjadi pengurangan komponen. Fraud melalui komunikasi digital yang melibatkan pimpinan proyek dan kontraktor akan menguntungkan pelaku yang terlibat. Namun dengan kualitas gedung yang di bawah standar dapat membahayakan pengguna karena potensi roboh sebelum umur pemakaian yang wajar.


Yang menarik dari pelaku korup diantaranya dengan digital fraud memiliki karakteristik yang bisa dikenali, terutama setelah yang bersangkutan melakukan kejahatan. Karena kemudahan mendapatkan uang dengan jumlah besar perilaku berikut akan muncul: berfoya-foya, suka memberi hadiah, mudah melanggar aturan, kualitas kerja buruk, selalu serakah dan lainnya. Yang menonjol adalah memberi hadiah bagi pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan pelanggarannya.


TIPE FRAUD dan JENIS MENURUT UU PTPK


Dalam UU no 18 tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) terdapat perkara yang ada dalam berbagai kategori:

  1. Suap-menyuap diatur dalam Pasal 5, 6, 11, 12 (huruf a –d), dan pasal 13

  2. Gratifikasi (illegal) diatur dalam Pasal 12B, 13

  3. Pemerasan diatur dalam Pasal 12 (e s.d g)

  4. Benturan kepentingan dalam pengadaan, diatur dalam Pasal 12 (i)

  5. Mengakibatkan kerugian negara, diatur dalam Pasal2 dan 3

  6. Penggelapan, diatur dalam Pasal 8, 9, dan 10

  7. Perbuatan curang, diatur dalam Pasal 7 dan 12 (h)

  8. Perbuatan terkait korupsi, termasuk di dalamnya : merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar; Bank tidak memberikan keterangan rekening tersangka; Bank tidak memberikan keterangan rekening tersangka; saksi atau ahli tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu; saksi yang membuka identitas pelapor.

Pelanggaran terhadap Undang-undang ini yang menyangkut penggunaan anggaran negara akan masuk perbuatan tindak pidana korupsi. Fraud digital sangat mungkin masuk di sini jika melibatkan anggaran dan institusi pemerintah. Jika hal serupa terjadi di sektor swasta akan diatur sebagai tindak pidana umum.


PENYEMBUNYIAN BUKTI


Setelah melakukan fraud untuk keuntungan pribadi, pelaku akan menyembunyikan bukti-bukti untuk menutupi kejahatannya. Menurut penelitian cara-cara yang dilakukan adalah: (39%)membuat dokumen fisik yang diakali, (32%)memalsukan bukti-bukti fisik, (28%)membuat dokumen elektronik yang diakali, (25%)memalsukan dokumen elektronik, (23%)menghancurkan dokumen fisik dan (12%) tidak melakukan penyembunyian. Sehingga kebanyakan (57%) akan melakukan pembuatan bukti-bukti yang diakali, dan (38%) diantaranya dilakukan terhadap dokumen elektronik sekaligus fisik.


Dengan semakin meluasnya pemakaian internet, terdapat pergeseran cara masyarakat bertransaksi. Demikian halnya dengan perilaku fraud secara digital yang meningkat kasusnya dari waktu ke waktu. Pada pertengahan Maret 2020 menurut Kominfo terjadi 5000 laporan per minggu. Dan lebih lanjut menurut laporan interpol tahun 2022, ditemukan bahwa digitalisasi telah memperbanyak kejadian kejahatan terorganisasi, penyelundupan, kejahatan keuangan, kejahatan siber dan terorisme.


Untuk mengatasi peningkatan kejahatan berbasis digital, perlu memperkuat teknik dan metode investigasi ke arah pembuktian dengan jejak digital. Dari cara komunikasi, masyarakat makin intens menggunakan pesan pendek secara digital. Cara berkomunikasi ini juga sering digunakan untuk tindak kejahatan dan jenis fraud lainnya. Sehingga para penegak hukum harus dapat semakin canggih dalam melakukan teknik pembuktian dan investigasi kejahatan dengan sarana elektronik ini.


STRATEGI PENANGANAN FRAUD


Dalam penanganan kejahatan terutama fraud digital diperlukan strategi yang tepat sesuai dengan tahapan proses terjadinya. Seperti disampaikan sebelumnya proses terjadinya fraud terdapat 3 tahapan: fraud risk factors, fraud redflag dan fraud impact.


Sesuai dengan tahapannya, strategi penanganan fraud berbeda untuk masing-masing.

  1. Pada tahap fraud risk factors, yang menjadi pintu masuk terjadinya kejahatan adalah: adanya kesempatan (opportuninty) untuk melakukan fraud, dorongan (pressure) terhadap individu (biasanya ekonomi), dan perhitungan yang masuk akal (rationalization). Agar penyimpangan tidak dilakukan diperlukan strategi pencegahan untuk memperkecil peluang, meminimalkan dorongan dan pelaku berpikir panjang untuk melakukannya. Misalnya untuk memperkecil peluang yang diperlukan adalah sistem pengawasan yang ketat dalam organisasi, penuntutan hukum yang konsisten, hukuman berat bagi pelaku dan sebagainya. Sedangkan untuk memperkecil dorongan ekonomi misalnya dengan memberikan gaji yang mencukupi kebutuhan karyawan dan pendidikan untuk pengelolaan keuangan. Dan untuk memperkecil kemasuk-akalan tindakan korup misalkan dengan pendidikan etika, teladan pemimpin, penindakan tegas dan hukuman yang memiskinkan. Pencegahan fraud dapat dilengkapi dengan mengelola sumber daya manusia berintegritas melalui program-program seperti: pengecekan latar belakang, pelaporan whistle blowing system, audit proaktif, pendidikan anti-fraud, pengawasan efektif dan pimpinan sebagai panutan. Untuk pencegahan dengan melawan peluang adalah melakukan pengendalian dengan cara: proses tender online, pembayaran transfer, perkuat SOP, penyerderhanaan prosedur dan layanan pelaporan.

  2. Pada tahap fraud redflag, saat pelanggaran direncanakan, lalu dilakukan dan ditutupi, strategi yang dilakukan adalah untuk mendeteksi potensi fraud. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah memperkuat kemampuan deteksi terutama dengan teknologi digital, mengingat cara-cara dengan memanfaatkan internet untuk kejahatan makin meningkat. Kejahatan seperti phising, identity theft, payment fraud, data breaches, social media fraud dsb. makin banyak terjadi dengan kerugian yang makin besar, sehingga kemampuan deteksi atas fraud terkait mutlak perlu ditingkatkan.

  3. Pada tahap fraud impact, pelanggaran dengan teknologi digital menimbulkan kerugian dan kerusakan, sehingga tindak korupsi maupun pidana yang telah terdeteksi, semaksimal mungkin diproses menurut ketentuan hukum yang berlaku secara cepat, tepat dengan tingkat kepastian yang tinggi.


DIGITAL FORENSIC


Saat ini komputer dan gawai telah menjadi sarana, sasaran dan penyimpanan data tindakan kejahatan. Seperti dijelaskan sebelumnya penggunaannya untuk masing-masing peran semakin meningkat dengan pesat. Dengan demikian semakin diperlukan pula kemampuan untuk investigasi fraud terutama terkait teknologi digital.


Hal terutama yang diperlukan dalam investigasi untuk mengidentifikasi perilaku yang tidak wajar dan pelakunya. Pada masa dengan penggunaan teknologi digital telah luas, cara identifikasi perilaku tidak wajar dapat menggunakan teknologi serupa.


Untuk metode penyidikan fraud diperlukan hal-hal berikut:

  • Asumsikan litigasi akan menyusul, hal ini akan memastikan bahwa pemeriksa penipuan mematuhi aturan pembuktian yang tepat dan tetap berada dalam pedoman yang ditetapkan oleh sistem hukum.

  • Bertindak berdasarkan predikasi, totalitas keadaan yang akan menyebabkan individu yang berakal sehat, terlatih secara profesional, dan bijaksana untuk percaya bahwa penipuan telah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi.

  • Mendekati kasus dari dua perspektif, dengan berusaha membuktikan bahwa penipuan telah terjadi. Serta dengan berusaha membuktikan bahwa penipuan tidak terjadi.

  • Beralih dari hal umum ke hal khusus:

    - Saksi pihak ketiga yang netral,

    - Pihak yang diduga terlibat

    - Tersangka utama pemeriksaan

  • Gunakan pendekatan teori fraud

    - Analisis data yang tersedia

    - Membuat hipotesis

    - Menguji hipotesis

    - Menyempurnakan dan mengubah hipotesis


Forensik digital adalah suatu (i) ilmu pengetahuan dan keahlian untuk (ii) mengidentifikasi, mengoleksi, menganalisis, dan menguji dan memberikan pendapat atas (iii) bukti-bukti digital pada saat (iv) menangani sebuah kasus baik di depan pengadilan hukum atau proses hukum dan administratif lainnya. Untuk keperluan penyidikan dan penuntutan, keahlian dan kemampuan forensik digital semakin diperlukan bagi internal organisasi, badan pemeriksa dan aparat penegak hukum. Dengan itu pada gilirannya peluang dapat dicegah, perbuatan fraud lebih mudah diungkap dan penanganan hukum lebih jelas dan cepat penuntutannya. Dan saat ini forensik digital terus dikembangkan dan dimasukkan dalam organisasi terkait, untuk memperkuat penanganan kejahatan akibat digital fraud.









9 views0 comments

Comments


Daftar dan anda akan update terkait PEBOSS!
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey LinkedIn Icon
  • Grey Facebook Icon

© 2023 by Talking Business.  Proudly created with ADVANWix.com

bottom of page