top of page
  • Instagram
  • Whatsapp
  • LinkedIn Social Icon
Search

Anugerah Pekerti: Belajar dan Mengamalkan Etika

Writer's picture: PEBOSS PPM - PrisaptaPEBOSS PPM - Prisapta

Updated: Jul 31, 2023



Permintaan ikut menulis untuk buku ini membuat saya berkilas balik tentang

bagaimana, dari mana dan dari siapa saya belajar etika dan pengamalannya. Misalnya saya coba mengingat bagaimana saya belajar tentang kejujuran, keadilan dan kepedulian pada sesama. Tiga nilai yang kemudian di perguruan tinggi saya pahami sebagai nilai etis?


Saya tidak pernah diminta menghafal ketiga nilai itu seperti anak-anak sekarang

diminta menghafal Pancasila. Seingat saya, ketiga nilai itu juga tak pernah diajarkan dan dibahas secara formal dalam keluarga maupun dalam kelas pendidikan dasar dan menengah. Saya baru mengenali ketiga nilai itu sebagai nilai etis dari kuliah filsafat di perguruan tinggi. Jadi bagaimana saya bisa tahu dan mengamalkannya sejak usia dini?


Pengamalan ketiga nilai itu mungkin sekali saya serap dan meresap dalam diri saya dari teladan ibu saya. Kami sembilan bersaudara, ayah kami meninggal waktu enam orang masih bersekolah. Jadi Ibu yang menanggung semua beban kehidupan dari usaha sebuah toko kecil yang dikelola dan ditekuninya dengan setia. Ibu tak pernah sekolah formal. Beliau hanya belajar sendiri baca, tulis, hitung di rumah karena penjajahan dan tradisi budaya lebih mengutamakan kesempatan sekolah untuk anak laki-laki (ketidak-adilan oleh penguasa dan budaya).


Kami enam anak tanggungannya (tiga perempuan dan tiga laki-laki) diupayakannya untuk terus bersekolah tanpa membedakan. Kesempatan belajar yang sama bagi anak laki-laki dan perempuannya adalah teladan yang diberikan Ibu tentang keadilan, tidak dinasihatkan tapi diamalkan. Kami merasakan dan menyerapnya.


Kejujuran dan kepedulian pada sesama juga tertularkan melalui teladan yang

sederhana. Ibu tak pernah membagikan uang untuk keperluan masing-masing anaknya. Kami boleh mengambil uang dari laci uang beliau untuk keperluan pendidikan dan pribadi asal kami menuliskan berapa dan untuk apa. Kebebasan (mengambil sendiri), akuntabilitas (menyatakan berapa dan untuk apa) dan transparansi (menuliskan agar bisa dibaca oleh semua) membuat saya jujur dan memperhitungkan kebutuhan kakak dan adik saya, kepedulian pada sesama.


Ada lagi satu nilai yang ditularkan oleh orang tua kami -- terutama ayah -- untuk menjadi manusia yang lebih mandiri, maju dan berbudaya, kita harus sekolah dan belajar dan belajar terus. Pengetahuan dan wawasan luas membuat kita lebih manusiawi.


Ada banyak nilai yang tertularkan dan terserap dalam lingkungan keluarga dan

budaya tanpa dipelajari secara nalari. Nilai-nilai itu tersirat dalam perilaku kita tanpa kita sadari. Ada nilai yang membentuk kebiasaan pangan, nilai yang membentuk citra keindahan, dan nilai yang membentuk jati diri kita sebagai manusia dan sesama manusia. Ada nilai yang positif, ada pula yang negatif.


Pada masa anak-anak, ranah hidup kita yang utama adalah keluarga. Nilai-nilai

yang memandu perilaku anggotanya biasanya diturunkan dari generasi ke generasi. Mengutamakan anak laki-laki untuk bersekolah, misalnya, dianggap benar, adil dan wajar walaupun anak yang perempuan lebih cerdas dan berbakat. Terhadap pihak luar bahkan ada semboyan, benar atau salah pokoknya yang benar keluarga kita. Yang membuka wawasan saya menembus ranah keluarga adalah guru saya di SMP dan SMA. Saya menemukan orang yang peduli tentang diri dan masa depan saya walaupun bukan sanak keluarga. Mereka memandu dan mendorong saya untuk meraih cita-cita

setinggi mungkin dalam hidup. Mereka adalah teladan orang yang jujur dan tulus menjalani kerja dan hidupnya. Karena merekalah saya memilih karir sebagai guru walaupun banyak peluang lain yang terbuka dan ditawarkan pada saya.


Terbukanya wawasan membuat saya peka pada orang lain di sekitar saya. Orang

yang berbeda suku, agama dan nasib. Saya juga peka pada perlakuan berbeda pada diri saya di lingkungan tertentu. Khususnya, saya kecewa berat waktu tidak diterima masuk fakultas pilihan saya -- bukan karena prestasi saya -- tapi karena kebijakan penjatahan golongan. Saya disadarkan tentang tidak adilnya diskriminasi atas dasar jenis kelamin, ras, agama, suku dan golongan. Saya bertekad untuk melawannya.


Tekad itu saya wujudkan dengan lebih memahami tentang hak azasi manusia

(HAM). Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia disepakati pada tanggal 10 Desember 1948. Sejak SMA kelas tiga (1957) saya memang sudah tertarik membaca tentang HAM waktu saya memutuskan ikut sayembara mengarang yang diadakan oleh Perhimpunan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Indonesia. Karangan saya itu mengulas dan mendukung gagasan Hugo Grotius (1583-1645} seorang ahli hukum Belanda yang menyarankan perlunya hukum internasional untuk mengatur hubungan antar bangsa. Saya mendapat hadiah pertama dan menjadi kawan Pak Masdani, ketua perhimpunan.


Puncak upaya menyebarkan HAM terwujud dua tahun kemudian waktu bersama kawan saya Dr Muherman Harun dan dukungan Pak Masdani kami berhasil menyelenggarakan pameran HAM pertama di Indonesia di sebuah gedung gereja kecil di Jl. Bekasi Timur IX, Jatinegara. Pameran itu terberitakan luas berkat dukungan dan upaya Pak P.K. Ojong salah seorang pendiri harian ‘Kompas’.


Minat saya mendalami HAM dan etika lebih tergugah dan terasah waktu saya

terpilih untuk mengikuti International Study Fellowship (ISF) pelatihan kepemimpinan World Student Christian Federation di Amerika dan Jerman selama setahun (1963-1964). Di Amerika kami yang berasal dari berbagai negara belajar bersama tentang teologi, sosiologi dan etika selama satu semester di Princeton, NJ. Dosen etika kami adalah Prof Paul Lehman salah seorang murid Reinhold Niebuhr, pemikir etika protestan yang terkemuka di dunia. Lehman pengarang buku wajib kami ‘Ethics in a Christian Context’. Buku bacaan wajib yang lain adalah ‘Ethics’ karangan Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Jerman terkemuka yang dihukum mati oleh Nazi karena terlibat dalam persekutuan untuk membunuh Hitler. Bonhoeffer kawan baik Lehman. Menurut Lehman keputusan Bonhoeffer untuk ikut dalam persekutuan membunuh Hitler adalah contoh penerapan etika kontekstual.


Bonhoeffer seorang ahli teologi dan pendeta yang mendalami etika memutuskan ikut dalam persekutuan untuk membunuh Hitler karena yakin Hitler mengancam kehidupan jutaan manusia. Menghilangkan nyawa orang lain salah secara etis. Namun dalam konteks Jerman waktu itu upaya membunuh Hitler adalah pilihan yang dapat dibenarkan secara etis.


Etika kontekstual berbeda dengan pendekatan yang dogmatis misalnya, yang

menyatakan di mana saja, kapan saja, dalam keadaan apapun dan apapun akibatnya pokoknya kita harus jujur. Namun, kita patut bertanya bolehkah saya tidak jujur kalau taruhannya menyelamatkan nyawa anak saya yang disandera. Tidak jujur itu jahat tapi membiarkan anak mati lebih jahat. Kalau kita tidak jujur tapi anak selamat, kita mengamalkan prinsip etika yang oleh pakar etika dan teman saya Dr Eka Darmaputera disebut ‘jahat tapi apa boleh buat’. Konteks penyanderaan membenarkan kita untuk tidak jujur demi menyelamatkan hidup seseorang.


Kalau demikian apakah berarti mengamalkan etika tergantung situasinya?

Pendekatan etika situasional menyatakan jujur itu tergantung dari situasinya. Misalnya kalau sebagian besar siswa di kelas nyontek maka sayapun boleh nyontek. Pokoknya kita ikut arus saja hanyut dengan situasi. Dalam lingkungan yang tidak jujur saya ikut saja tidak jujur. Dalam lingkungan yang sarat korupsi saya ikut korupsi. Kita bisa selalu berdalih saya melakukannya karena semua orang melakukannya. Dalih semua orang melakukannya pasti tidak benar karena tak ada seorang pun yang bisa tahu apa yang dilakukan semua orang.


Etika kontekstual menuntut kita arif dan cermat memahami konteks dan melakukan pilihan yang paling benar atau yang paling kecil mudaratnya kalau semua pilihan tak ada yang benar. Etika kontekstual yang kami pelajari di Princeton membuat saya memilih untuk ikut gerakan menuntut persamaan hak sipil bagi Orang Hitam di Amerika Serikat waktu itu. Bersama kawan sekelas dari Nigeria, saya ikut berdemonstrasi damai masuk ke kota Trenton dengan jemaat gereja kelompok masyarakat Hitam tempat saya beribadah. Saya memilih ikut memperjuangkan tegaknya keadilan walaupun melawan hukum yang berlaku.


Pemahaman etika kontekstual itu pula yang menjadi landasan saya untuk ikut aktif dalam demontrasi damai mahasiswa tahun 1965 yang bermaksud mengingatkan penguasa Orde Lama yang makin otoriter. Namun saya mengundurkan diri waktu benturan kekuasaan antar kelompok meletus menjadi konflik perebutan kekuasaan dengan kekerasan yang menimbulkan korban ratusan ribu jiwa. Saya juga tidak bisa bergabung dengan penguasa Orde Baru yang meneguhkan kekuasaannya dengan memenjarakan dan mengingkari hak sipil jutaan sesama warga negara tanpa proses pengadilan.


Saya memilih kembali memusatkan diri pada studi psikologi yang saya tinggalkan saat mengikuti ISF dan berdemonstrasi. Saya selesaikan dengan menulis skripsi tentang perkembangan kesadaran moral. Pembimbing skripsi saya adalah Prof. Driyarkara dan Prof. Fuad Hassan. Pak Driyarkara menawarkan beasiswa ke universitas Leuven di Belgia untuk studi lanjutan dalam bidang filsafat. Saya tidak bisa memenuhinya karena alasan keluarga.


Sebenarnya saya bisa melanjutkan karir saya di Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia karena saya sudah menjadi asisten dosen sejak saya tingkat tiga. Namun saya tertarik oleh iklan Sekolah Tinggi Manajemen (STM PPM) yang baru didirikan tahun 1967. Saya melamar dan diterima.


Saya mantap bergabung ke STM PPM karena landasan nilainya sesuai dengan

kayakinan saya. Lembaga baru ini berniat mengajarkan manajemen yang berlandaskan etika, menyebar luaskan pembelajaran manajemen dalam Bahasa Indonesia, dan memberikan beasiswa bagi orang muda yang berpotensi tapi miskin dana.


Mengajarkan dan mengamalkan manajemen yang berlandaskan etika berarti

menyebar luaskan praktik pengelolaan organisasi dan kegiatan usaha berlandaskan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Niat STM PPM ini sungguh tantangan yang berat dan terasa muskil ditengah maraknya praktik korupsi yang makin menjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru. Namun pengurus yayasan dan pimpinan lembaga bertekad dan gigih terus berupaya mewujudkannya.


Mewujudkan nilai menuntut kepanjangan tekad dan upaya dengan kerelaan

maksimal; berbeda dengan taat hukum atau aturan yang hanya perlu dipenuhi dengan kepatuhan minimal.


Saya sungguh beruntung bisa belajar dan mengikuti teladan para anggota pengurus yayasan antaranya: T.B. Simatupang, Syafruddin Prawiranegara, Herawati Diah, Mutiara Djokosoetono, Chairul Basri, dan Soedarpo Sastrosatomo. Mereka adalah tokoh-tokoh nasional yang gigih mengamalkan etika dalam karya dan hidupnya.


Pada suatu kesempatan saya pernah bertanya pada Pak Soedarpo, bagaimana beliau bisa bertahan melakukan bisnis berlandaskan etika dalam lingkungan yang sarat korupsi. Kata beliau dalam bahasa Jawa: ‘Ngeli tanpo keli’ (ikut tanpa hanyut). Berpegang teguh pada nilai yang kita yakini tapi pengamalannya dengan secara arif mencermati dan memahami koteksnya. Ternyata kearifan praktik Pak Darpo ini merupakan wujud dari etika kontekstual yang saya pelajari dari Prof Lehman di Princeton tahun 1963.


Saya merasa diberi kehormatan dan tanggung-jawab besar waktu diminta

memimpin STM PPM mengikuti jejak dua orang mentor dan pendahulu saya, Dr. A.M Kadarman dan Ir J. Sadiman. Saya pun bersama rekan-rekan bertekad dan berupaya penuh mengamalkan etika dan menyebarluaskannya dalam praktik manajemen organisasi dan kegiatan usaha di Indonesia.


Namun kita tidak bisa berjuang sendiri. Kita hanya bisa mewujudkannya dengan

membangun jejaring etika. Dalam mengajar etika bisnis kami mengundang almarhum Gus Dur, Nurcholish Madjid dan Dawam Rahardjo sebagai dosen tamu. Kami juga membangun hubungan akrab dengan para pelaku bisnis dan pimpinan perusahaan yang mengamalkan etika. Lingkungan kehidupan kita sarat korupsi, namun ada banyak pulau kejujuran. Kita harus merakitnya menjadi satu kepulauan yang tangguh menjadi Kepulauan Etika Nusantara yang jaya.


Saya bersyukur para pengganti saya konsisten meneruskan perjuangan mulia

mewujudkan tekad para pendiri STM PPM yang tahun ini sudah berlangsung selama 53 tahun. Namun, perjuangan belum selesai. Pemahaman etika membuat saya lebih manusiawi dan memampukan saya terus mengupayakan pengamalannya purna tugas dari STM PPM. Selama 20 tahun terakhir ini saya beruntung dapat kesempatan berperan dan berkontribusi dalam tata kelola berbagai organisasi karena pemahaman saya tentang etika.


Saya dipercaya menjadi anggota pengurus internasional dari dua organisasi

kemanusiaan global yang masing-masing berkarya di lebih dari 80 negara, World Vision International (WVI 1995-2004) dan Habitat for Humanity International (HFHI 2004-2024). Di kedua organisasi itu saya memenuhi tugas sampai akhir masa jabatan maksimal masing-masing sembillan dan delapan tahun. Di WVI saya sempat dipercaya jadi mitra ketua badan regional Asia dan moderator dewan organisasi tertinggi yang bersidang tiga tahun sekali dihadiri oleh utusan semua negara anggota. Di HFHI saya sempat dipercaya menjadi wakil ketua pengurus selama satu masa jabatan dan ketua komisi tata kelola dan nominasi.


Di kedua organisasi ini hidup saya tersentuh dan menjadi lebih utuh oleh ribuan

orang muda perempuan dan laki-laki yang membaktikan karya dan hidupnya melayani sesama manusia yang miskin dan tertindas di seluruh dunia. Mereka membuka jalan untuk sesama yang dilayaninya agar punya peluang untuk hidup yang lebih manusiawi. Saya menyaksikan dan mengalami bagaimana mereka menolong orang yang menderita karena bencana atau konflik kekerasan. Mereka siap dan rela terjun sejak hari-hari pertama dan bertahan sampai yang dilayani siap melanjutkan hidupnya.


Tahun 2012-2024 saya terpilih menjadi anggota Majelis Wali Amanah Universitas Indonesia mewakili masyarakat bersama Jusuf Kalla, Endriartono Sutarto, Alwi Shihab, Said Agil Siradj dan Bagir Manan. Saya merasa bersyukur diberi kesempatan berbuat sesuatu untuk alma mater saya.


Tahun 2012-2017 saya mendapat kehormatan menjadi anggota Dewan Penasihat

Komisi Nasional Hak Azasi Manusia. Ternyata HAM yang mulai saya pelajari dan

perjuangkan waktu saya berumur 19 tahun berbuah manfaat 55 tahun kemudian.


Saya juga dipercaya menjadi komisaris independen di beberapa perusahaan terbuka yang berkomitmen mengamalkan etika dalam kegiatan usahanya. Saya bertugas dari tahun 2001-2017 di beberapa perusahaan terbuka yang termasuk kelompok Astra International dan di Samudera Indonesia Tbk dari tahun 2000 sampai kini.


Kembara belajar dan mengamalkan etika ini tak mungkin saya tempuh sendiri tanpa dukungan keluarga saya. Saya bersyukur pada istri, anak dan cucu yang sama-sama meyakini, menghayati dan bersama berusaha mewujudkan nilai etik dalam karya dan hidupnya.


Dua tahun yang lalu semangat saya tergugah lagi dan tersegarkan karena mendapat kesempatan untuk ikut berupaya menyebarkan pengamalan etika secara lebih terorganisasi melalui lembaga yang didirikan oleh STM PPM: Pusat Etika dan Budaya Organisasi Soedarpo Satrosatomo (PEBOSS). Dalam lembaga baru ini saya sangat terinspirasi oleh gairah rekan-rekan muda yang bertekad membudayakan etika dalam praktik berorganisasi dan kegiatan usaha di Indonesia. Mari kita terus berjuang karena perjalanan masih panjang.


Anugerah Pekerti, California 12 Mei 2020

4 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Daftar dan anda akan update terkait PEBOSS!
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey LinkedIn Icon
  • Grey Facebook Icon

© 2023 by Talking Business.  Proudly created with ADVANWix.com

bottom of page