top of page
  • Instagram
  • Whatsapp
  • LinkedIn Social Icon
Search

a.n. Etika dan Integritas

Writer's picture: PEBOSS PPM - PrisaptaPEBOSS PPM - Prisapta

Kuntoro Mangkusubroto


Etika, integritas, dan semacamnya, adalah topik yang mudah untuk dirasakan

lebih dari yang dicakapkan, apalagi dituliskan. Mengapa? Karena topik ini

mewakili norma-norma abstrak yang orang yakini dan sebagian ada yang diteguhi sepanjang hayat dikandung badan. Sesuatu itu sudah merasuk-menyatu dalam diri.


Etika, sejauh yang saya pahami, derajatnya lebih tinggi. Ia memayungi integritas

dan kepercayaan. Khusus untuk kepercayaan, supaya bisa menangkup keluasan

maknanya, maka diksi yang akan lebih sering saya gunakan adalah trust.

Senyampang tulisan baru saja dibuka, saya ucapkan selamat ulang tahun ke-53

untuk PPM Manajemen sekaligus yang ke-2 untuk Pusat Etika dan Budaya

Organisasi Soedarpo Sastrosatomo (PEBOSS). Dirgahayu. Semoga PEBOSS bisa

menjadi pelita pandu yang menyalakan ekosistem lebih bermartabat bagi

kehidupan bisnis, termasuk bagi yang menghidupkannya.


PTBA: Tangkapan kilat PTPRS


Saya awali dengan cerita mengenai bagaimana saya mulai berinteraksi dengan

“dunia nyata”, yang akhirnya menggulirkan buah pemikiran yang kemudian

banyak orang menyebutnya sebagai etika, integritas, kepercayaan, atau apa pun

itu.



Sebermula adalah April 1988. Saat itu saya baru dipercaya sebagai Direktur

Utama (Dirut) PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA). Pada hari Minggu

pertama setelah saya dilantik, saya datang ke Tanjung Enim, pusat operasi PTBA,

dan langsung mengunjungi Tambang Air Laya. Itu nama tambang batu bara

terbesar PTBA yang mengaplikasikan teknologi baru bucket-wheel excavator di

Indonesia. Lokasinya berada di Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Dari Tambang Air Laya, saya lanjut ke area dumping, ruang kontrol, pergudangan, bengkel, kantor, bahkan sampai bablas sedikit ke luar area

pertambangan.


Di setiap tempat, banyak staf dan pegawai hadir. Lumayan lengkap. Tampaknya sampai juga ke telinga mereka bahwa saya akan berkeliling. Mereka ingin tahu siapa saya. Saya pun ingin tahu siapa mereka. Sebuah keingintahuan yang sama pada seharian Minggu yang menyenangkan.


Benar bahwa hampir semua dokumen tentang PTBA sudah saya lahap. Tapi, saya butuh lebih dari itu. Saya butuh menyerap suasana-batin lebih dari soal-soal teknis perusahaan. Yakni soal “jiwa”-nya, kulturnya, manusianya. Dan itu semua harus bisa saya jaring dalam sehari, Minggu, satu-satunya hari yang tersedia sebelum besok, pidato pertama saya sebagai Dirut. Sebuah “tangkapan kilat” itu berupa turba ‘turun ke bawah’. Apa boleh buat.


Pagi setengah siang, saya set bertemu staf-staf yunior terlebih dulu. Para staf itu berasal dari pelbagai daerah atau suku. Ada Bali, Padang, Palembang, Medan, atau Bugis, Jawa, Sunda, Melayu, hingga Gorontalo/Hulondalo. Sudah mirip miniatur Indonesia. Mewakili golongan cerdik-cendekia berpendidikan tinggi di

perusahaan, anak-anak muda itu antusias sekali memaparkan tentang teknologi

baru yang tengah mereka akrabi di PTBA.


Semangat dan optimisme bersemburat dari raut wajah mereka. Minim basa-basi, raut-raut itu seolah menantang, “Lekas arahkan ke mana kami harus bergerak, ke sanalah kami siap berarak.” Raut-raut yang padanya saya seperti disodori binokular buat meneropong wajah baru PTBA sebentar lagi. Anak-anak muda ini mewakili dimensi masa depan. Para pengubah. Bersama mereka, saya bertekad mewujudkan perubahan, terutama melalui penerapan teknologi baru sebagaimana yang telah mereka yakinkan kepada saya. Hati jadi tenang. Perlahan muncul percaya diri.


Siang hari, pertemuan dengan para pimpinan. Ini dimensi lain. Mereka ini

mewakili golongan tua. Dimensinya masa lampau, masa-masa sulit, masa saat

produksi dikerjakan dengan teknologi lama. Demi mendengar bahwa teknologi/metode baru akan diterapkan, masygullah hati mereka. Bahkan, tak

sedikit yang tidak terima.


Sore hari, giliran bertemu para pekerja. Ini dimensi lain lagi. Dimensi masa kini.

Mereka ini golongan pekerja murni. Manusia-manusia yang siap-sedia bekerja

sesuai perintah. Anti-rewel, asalkan jelas perintahnya.


Hari sudah malam. Di tengah perjalanan balik ke mess di Basecamp PTBA, saya

tengok ada upacara kenduri di sebuah rumah. Rupanya kenduri bayi baru lahir.

Tak kenal siapa dia, saya datangi saja. Saya haturkan tegur sapa, juga kepada para

ibu, membuka ruang komunikasi. Tak berlama-lama, saya mohon pamit. Acara

serah-terima jabatan Dirut sudah menanti pagi besok. Saya harus siapkan poin-

poin pidatonya malam ini juga, pidato/arahan perdana kepada seluruh karyawan PTBA.


Pidato perdana, sejauh yang saya yakini, adalah momentum penting bagi seluruh karyawan. Mereka ingin tahu perusahaan ini mau dibawa ke mana. Ratusan pasang telinga akan mencerna cermat-cermat apa visi, misi, serta pesan “orang baru” ini. Ratusan pasang mata pun akan memelototi “orang aneh” ini: muda, datang dari “planet” jauh, tak berlatar belakang pertambangan tapi akan

memimpin ribuan karyawan yang sekujur hidupnya sudah lebih dulu tungkus-

lumus di pertambangan.


Pada sepanjang malam Minggu itu, hanya beberapa jam sebelum pidato, saya

mengontemplasikan hasil turba dan tiga-empat pertemuan seharian tadi untuk bisa menghasilkan poin-poin arahan. Otak saya paksa bekerja lebih keras. Hingga, satu jam lewat tengah malam, kelar sudah. Konsep itu pun saya bawa tidur.


Bangun tidur, segeralah saya bisa garis bawahi, bahwa pidato arahan ini jenis

pidato soal tata-nilai atau sikap utama, suatu simpul pengikat bagi semua elemen PTBA dalam bersama-sama membangun perusahaan. Saya yakin, nilai-nilai itu akan bisa merasuk ke sanubari manusia-manusia yang saya pimpin karena semuanya saya gali berdasarkan dinamika di antara mereka sendiri. Saya hampir yakin juga, arahan itu akan mewarnai kepemimpinan saya di PTBA dan bahkan rasa-rasanya akan saya bawa terus dalam kehidupan keprofesionalan.


Arahan itu berisi panca-nilai. Saya singkat: “PTPRS”. Sengaja demikian, agar

lebih mudah diingat dan lalu dipraktikkan oleh kami semua karyawan PTBA. Apa saja kelima nilai PTPRS itu?

  1. Percaya atau trust. Setiap orang dalam perusahaan harus percaya pada sesama rekan, atasan, juga bawahan. Trust itu mutlak. Tanpanya, yang ada hanya curiga atau syak-wasangka. Syak-wasangka membuat pekerjaan jadi berat, sulit tuntas.

  2. Terbuka. Setiap kali menyinggung tentang nilai ini, saya tiada bosan-bosannya menyertakan analogi: “apa yang ada di mejamu adalah apa yang orang lain juga bisa lihat.” Kombinasi dari Percaya dan Terbuka, berarti tidak memberikan celah sedikit jua bagi korupsi dalam wujud apa pun untuk leluasa berbiak.

  3. Positif. Ada kecenderungan, setiap kali terbentur masalah, hal pertama yang keluar adalah sontak mencari kambing hitam. Padahal, kita tahu persis, yang lebih utama adalah sontak mencari jalan keluar. Lebih-lebih, saat itu kita tengah dalam proses mendalami teknologi baru dan canggih. Sikap saling menyalahkan tentu tidak boleh dibiarkan. Solve the problem. Just do it, fast. Be Positive!

  4. Rasional. Teknologi dan produksi tambang hanya bisa dihadapi dengan nalar. Nalar yang Positif. Bukan emosi. Teknologi baru, seperti halnya bucket-wheel excavator saat itu, mensyaratkan hadirnya rasionalitas. Di hadapan rasionalitas, pertanyaan semacam “engkau orang mana, agamamu apa, dari kampus mana” menjadi tidak relevan alias irasional. Maka, apa pun yang irasional, abaikan.

  5. Sadar-biaya. Saya kira, tidak butuh ilmu tinggi-tinggi untuk bisa sampai pada pemahaman, bahwa dalam setiap langkah yang diambil, dampak biaya pasti selalu menyertai. Setiap gerak perusahaan selalu bernapas dengan Sadar-biaya.


Integritas itu rukun


Hari ini, saat mengulas kembali PTPRS beserta kisah-kisah di belakang layarnya,

“jarak sejarah” membantu saya untuk mengidentifikasi, bahwa ternyata itu sebuah tonggak buah pemikiran. Sebuah tonggak penting yang telah menyadarkan, betapa pertemuan-pertemuan pada satu hari Minggu di bulan April 1988 itu punya andil membentuk saya hingga seperti adanya sekarang dalam memaknai banyak hal. Utamanya dalam hal: makna bekerja, kaitannya dengan manusia, serta berbagai tanggung jawab yang muncul. Ketiga hal ini berkorelasi dengan tingkat integritas seseorang. Rupanya, sejak 1988, buah pemikiran itu terbawa terus oleh dan dalam diri saya. Baik ketika memimpin lembaga, perusahaan, maupun gerakan. PTPRS, dengan begitu, adalah embrio pemikiran saya dalam membangun (ekosistem) integritas sebuah tim.


Hemat saya, integritas itu adalah rukun—sesuatu yang harus ada dan terpenuhi

lebih dulu—dari sebuah lembaga (“l” kecil) jika ingin naik kelas menjadi Lembaga (dengan “l” besar). Integritas itu kualitas etika. Integritas adalah buhul

yang mengikat dan menjaga semua, baik internal maupun eksternal lembaga. Itulah yang ingin saya bangun sejak awal saya di PTBA.


Di manakah titik penting konkretnya integritas? Begini, saat merekrut anggota

tim, tiga kualitas/variabel berikut ini selalu menjadi pegangan saya. Ketiganya

adalah: integritas, cergas, cerdas. Integritas adalah kualitas budi/etika, suatu

kualitas yang primer/tertinggi. Cergas (cakap, gesit) itu kualitas energi/semangat.

Adapun cerdas (tajam pikir, cerdik-cendekia), itu kualitas akal/otak. Dua yang

terakhir, sekunder saja sifatnya, tidak terlampau sulit didapat. Artinya, manakala

kualitas pertama (integritas) lemah, maka dua kualitas berikutnya akan bisa cepat berubah menjadi kanker buat lembaga. Manakala kualitas budinya fakir, maka dua kualitas lainnya jadi terdistorsi atau terlemahkan; tinggal tunggu tanggal mainnya saja kapan si fakir budi itu akan menggerogoti lembaga hingga

mengambrukkannya.


Bagaimana untuk level pemimpin/atasan? Kalau untuk merekrut bawahan saja

integritas menjadi kualitas primer, apalagi untuk menunjuk atasan. Pemimpin

adalah penentu hitam-putihnya lembaga. Dengan membaca integritas pemimpin, karyawan akan menentukan sikap untuk meng-gugu (meneladani) atau menggugat. Perongrong pun tentu akan lebih cepat membacanya. Sesimpel itu.


Agar integritas bisa lebih ditegakkan, seorang pemimpin dituntut untuk juga

punya, dan pandai dalam menyelami, psikologi atau kawruh jiwa para karyawannya. Paham akan kawruh itu berarti mengayomi dan nguwongke

(memanusiakan) karyawan, karena mereka mengabdi atau bekerja buatnya. Ia dan karyawannya ibarat satu tubuh. Keberhasilannya tergantung pada keberhasilan karyawan, begitu pula sebaliknya. Keberhasilan pemimpin dapat terlihat dari seberapa cakap ia memberikan arahan-arahan hingga membuat karyawan bukan saja produktif tapi juga nyaman dalam bekerja. Sebaliknya, keberhasilan karyawan dapat terlihat dari seberapa total-loyal mereka menunaikan pekerjaan yang dipecayakan, termasuk ketika harus menghadapi beragam tantangan di lapangan.


Satu lagi yang penting dicatat, pemimpin dituntut tajam dalam mewaspadai titik-titik lemah atau potensi jebakan yang membuat integritas terongrong, wabilkhusus terkait etika. Dalam pengalaman saya, potensi jebakan seperti itu yang paling menonjol ada dua model, yakni godaan dan panik.


Godaan, model serangannya ada yang lembut, ada yang keras. Yang mematikan,

justru kerap datang dari serangan lembut, umumnya berupa godaan uang. Coba

kita amati struktur jabatan di perusahaan. Struktur selalu berkorelasi dengan

nominal pendapatan. Tinggi-rendahnya tingkat jabatan sebangun-sesisian dengan tinggi-rendahnya pendapatan. Seorang pemimpin tentu paham rumus ini: semakin rendah pendapatan berbanding lurus dengan semakin tinggi peluang godaan. Sejak 1988—bahkan mungkin jauh sebelumnya—hingga kini, akrab kita dengar istilah ”tempat basah” dan “tempat kering”. Tempat basah lazim merujuk pada pos/unit yang tinggi tingkat frekuensi berurusannya dengan uang, baik lantaran fungsi maupun “garis nasib”. Adapun tempat kering, sebaliknya. Seorang pemimpin sebisa mungkin harus menghindari tempat basah. Adalah kurang patut jika seorang Dirut pada saat bersamaan juga merangkap sebagai direktur logistik atau direktur pengadaan. Itu membahayakan integritas. Dirut sepatutnya menjauhi pos-pos basah. Riskan. Percayakan saja jabatan itu ke anak buah. Dirut tinggal memberikan tameng ekstra agar siapa pun yang di sana tidak mudah tergoda rayuan maut berumpan uang.


Satunya lagi adalah panik. Tak jauh beda dengan godaan, pada hakikatnya panik

juga merupakan status emosi yang bisa membuat seseorang takluk di hadapan

uang. Ambil contoh, suatu kali ada anak buah yang anggota keluarganya sakit dan terpaksa harus berobat. Sayangnya, uang tidak di tangan. Di sinilah menganga titik lemah. Ia jadi punya potensi mudah menerima tawaran/godaan uang dari pihak lain. Dua model yang sudah jadi “rahasia umum” itu mendesak untuk dicari akar masalahnya. Penindakan (OTT, dll) kebanyakan berkutat di sisi hilir, bukan di akar masalahnya yang kebanyakan berada di hulu. Sisi hilir penting, tapi sisi hulu jauh lebih substansial dan mendasar. Dengan membenahi sisi hulu, pola sebab- akibatnya bisa dipetakan, tindakan preventifnya pun bisa disiagakan. Bukankah lebih baik mencegah daripada menindak? Karyawan yang rentan tergoda maupun tengah dirundung kepanikan, tak perlu selalu disalah-salahkan, tapi justru harus segera dibantu agar tidak terpeleset apalagi sampai terjengkang masuk jurang.


Aceh: Dari PTPRS ke integritas


Sejauh mengarungi kehidupan profesional, tantangan terbesar dan terberat saya

adalah saat dipercaya sebagai Kepala Badan Pelaksana - Badan Rehabilitasi dan

Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itu

kerja kemanusiaan akbar memulihkan Aceh-Nias pascagempa bertsunami 26

Desember 2004. Gambaran mengenai dahsyatnya kerusakan dan korban, silakan dicari sendiri di mesin peramban internet. Laporan, kajian, tinjauan, hingga analisis mengenainya pun saya rasa banyak bertebaran di sana.



Yang saya mau tekankan adalah, tantangan, beban, begitu pula kekhawatiran saya tatkala diamanahi tugas itu amat tinggi. Lebih-lebih terkait korupsi, isunya saat itu hampir selalu bertautan dengan isu lain yang berserempak hadir dalam satu kondisi berdimensi abnormalitas dan kompleks.


Lihat saja, terutama pada awal-awal BRR bekerja: integritas di semua lini sedang

di ambang nadir. Trust terhadap pemerintah, terutama Pusat, ambyar. Begitu puntrust pada sesama warga masyarakat Aceh. Gubernurnya tengah dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemerintah Pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka belum akur. Infrastruktur, hampir di segala bidang kehidupan dan wilayah, jumlah maupun mutunya terpuruk. Sumber daya manusianya, terutama pegawai negeri lokal, banyak yang menjadi korban meninggal atau penyintas. Angka kemiskinan Aceh, juga Nias, sebelum tsunami pun sudah tinggi, apalagi setelahnya. Pada saat bersamaan, Aceh-Nias diguyur hujan dana bantuan. Datang dari mana-mana. Untuk sampai ke kondisi pulih, dana yang dibutuhkan Rp70-an triliun: sepertiga ditopang APBN, sisanya dari segenap negara sahabat dan lembaga donor.


Jadi, coba bayangkan, dalam kondisi normal, mengawal hulu ke hilir dana

puluhan triliun agar tetap aman, amanah, dan tanpa “dijarah” saja sudah susah

setengah mati, apalagi dalam kondisi seabnormal dan sekompleks saat itu. Jadi,

bisa dipahami kan betapa beratnya tantangan pekerjaan kami?


Puji Tuhan, di ujung tugas empat tahun (2005-2009), BRR berhasil menuntaskan tugasnya dengan hasil baik. Indonesia panen segudang prestasi dan apresiasi, baik di tingkat nasional, regional, hingga internasional. Ukuran teknisnya adalah, apa yang harus dibangun kembali, ternyata dapat terbangun kembali secara tepat waktu. Ukuran non-teknisnya adalah, tingkat korupsi yang ada, ternyata amat sangat rendah, bahkan mendekati tidak signifikan. Dengan bangga saya bisa sampaikan, hanya terdapat tujuh kejadian yang berlanjut ke pengadilan dengan besaran yang dipersoalkan mencapai Rp30-an miliar. Ini tentu sangat melegakan.


Pada awal BRR bekerja, tahun 2005, lembaga-lembaga yang membantu

memulihkan Aceh-Nias berasal dari seluruh penjuru dunia. Sejak saat itu, saya

tidak lagi menggunakan istilah PTPRS. Yang saya canangkan sebagai dasar

arahan bekerja di BRR hanya satu: integritas!


Tag “integritas” jadi viral, lebih-lebih seiring dengan diperkenalkannya “Pakta

Integritas”. Pihak-pihak yang pernah terlibat dalam kerja Pemulihan Aceh-Nias

hampir pasti pernah bersinggungan dengan Pakta Integritas. Pasalnya, semua yang bekerja di BRR, baik yang di internal BRR maupun yang bekerja untuk BRR, tak terkecuali kontraktor dan konsultan, harus meneken dokumen Pakta Integritas. Tag integritas jadi identik dengan etika. Sebagaimana etika yang tiada

berkonsekuensi manakala dilanggar, integritas adalah wujud dari tekad bersama

untuk menjadi “perpanjangan tangan Tuhan”: bekerja tanpa berperilaku tercela.


Aceh berada di pojok terbarat Nusantara. BRR butuh merekrut pegawai-pegawai

yang harus bekerja dan tinggal di Aceh selama empat tahun. Mereka tentu harus

digaji selayaknya biaya dan pengeluaran selama bekerja di Aceh. Bagi pegawai

yang tidak membawa-serta keluarganya, biaya hidup anggota keluarga tersebut

juga turut diperhitungkan. Konsep ini memantik polemik hangat, terutama seputarbesaran gaji. Apa pun itu, satu hal tidak bisa saya tawar-tawar: tingkat gaji

pegawai BRR sepatutnya lebih tinggi ketimbang gaji pegawai negeri.


Kendati akhirnya konsep tersebut diterima, tak pelak banyak muncul

ketidakpuasan (baca: kecemburuan) akibat gagal memahami nalar di sebaliknya.

Nalarnya adalah, apabila gaji pegawai kurang atau sampai kekurangan, itu alarm

bahaya buat kami. Godaan uang berpotensi melemahkan tameng integritas

pegawai sehingga, ujung-ujungnya, mutu dan integritas proyek terancam.

Penerima manfaatlah yang kelak paling dirugikan. Harapan akan tinggal harapan, idealisme akan tinggal idealisme.


Risiko lain yang dihadapi pegawai BRR adalah bekerja di zona berbahaya.

Berbahayanya karena, pertama, kala itu konflik bersenjata masih belum tutup

buku. Kedua, area pascabencana berpotensi besar memiliki ancaman penyakit

tertentu, seperti tetanus bahkan kolera. Pegawai perlu dilindungi aspek

kesehatannya, yakni dengan asuransi, agar mereka lebih tenang bekerja. Jadi,

kondisi kerja di Aceh-Nias saat itu kira-kira adalah: terdapat ribuan proyek

dilaksanakan oleh pegawai BRR beserta para relawan yang digaji memadai dan

dijamin asuransi yang juga memadai.


Pertanyaan berikutnya tentu adalah, sudahkah semua dukungan fasilitas itu cukup manjur menjauhkan pegawai dari potensi tergelincir melakukan perbuatan tercela? Secara umum, sudah. Tapi, sistem tetaplah sistem. Ia tetap perlu diawasi. Karena itu, didatangkanlah pihak-pihak profesional untuk mengawasi BRR. Sebagaimana disinggung sebelumnya, dua pertiga dana Pemulihan datang dari luar negeri, sehingga perlu ada auditor bereputasi internasional yang mengawasi. Inilah alasan mengapa BRR meminta Ernest&Young dan Pricewaterhouse Coopers membantu lakukan audit dan pengawasan—selain tentunya oleh kantor filial Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dll.


Satu lagi: transparansi. Transparansi menjadi suatu prinsip penting dalam

rangkaian kerja BRR sehingga perhatian dan desain terhadapnya tidak main-main. Untuk menegakkan transparansi, selain pengawasannya dibantu sejumlah

lembaga, setiap proyek yang sudah tuntas harus segera dibuka ke seluas-luas

publik. Wahananya adalah e-portal, berbentuk website. Di sana disajikan progres

hasil proyek, lengkap dengan data GPS, koordinat, hingga foto. Pemutakhirannya berkala. Ini menjadi preseden: untuk kali pertama di Indonesia ada kegiatan/proyek besar yang informasinya dibuka luas-luas di website, lengkap dengan GPS, koordinat, dan foto. Siapa pun, kapan pun, dan di mana pun orang di seluruh dunia bisa mengakses.


Antara lain berkat prakarsa-prakarsa out of the box semacam itulah maka tak

mengherankan jika dunia internasional angkat topi terhadap Indonesia. Pemulihan Aceh-Nias dinilai sebagai proyek pembangunan-kembali wilayah serta kehidupan pascabencana besar yang sangat dan paling berhasil. Sampai-sampai, kita dijadikan acuan bagi proyek-proyek serupa di tempat-tempat lain di seluruh dunia.


Muara etika


Pengalaman demi pengalaman pemimpin harus bisa dipetik saripati nilainya.

Lebih bagus lagi jika nilai-nilai itu bisa dimuarakan dalam suatu platform

pembelajaran (lessons) maupun hikmah-ajar (lessons-learnt). Salah satu topik

yang cukup layak dimuarakan adalah: idealisme yang marwahnya terjaga dari

waktu ke waktu dari seorang pemimpin seyogianya dibagi-sebarkan untuk seluas-luas kebermanfaatan.


Idealisme adalah manifestasi dari budi-pekerti atau etika. Turunan dari etika

antara lain berbentuk integritas atau juga trust.


Dalam koridor integritas, tak ubahnya ibadah puasa atau tapa-brata samadhi, seberat apa pun godaan, kita harus berteguh pada yang benar, semata-mata karena hal itu memang benar adanya. Inilah dasar utama dari pilihan hidup berintegritas. Sekali mudah berkompromi pada hal yang tidak benar atau tidak jujur, maka di lain kesempatan, bukan mustahil kita akan tergiur untuk menjajal ulang. Lagi dan lagi. Terus dan terus. Hingga, pada satu titik, kita seperti tak bisa melihat lagi rute jalan pulang. Sudah jauh terlempar keluar orbit karena kadung menjadi kebiasaan (habit). Kredibilitas dan reputasi pun hancur.


Kembali, harus ada upaya untuk membagi-sebarkan nilai-nilai yang baik ke

orang-orang sekitar agar taraf imunitas integritas mereka bisa sebandel yang kita

punya—itu pun kalau integritas kita memang terbukti bandel, ya. Ingat hukum

aksi-reaksi: keberhasilan orang lain adalah keberhasilan kita juga, begitu pun

sebaliknya.


Maka, adalah sebuah dagelan yang tidak lucu jika ada pemimpin mengaku-aku

berintegritas tapi gagahnya ternyata hanya di slogan-slogan belaka. Omong

kosong besar. Integritas itu sesuatu yang harus diejawantahkan, dikonkretkan.

Utamanya: perkokoh itu tameng integritas semua anak buahmu supaya mereka

jadi semakin imun terhadap berbagai gangguan.


Serangkaian pengalaman, dari PTBA (sejak 1988) hingga Pemulihan Aceh-Nias

(sejak 2005), telah saya sampaikan. Saya rasa cukup. Sebelum mengakhiri,

mungkin ada yang usil bertanya, apa hal yang bisa melandasi agar etika dapat

diukur keberhasilannya?


Menurut hemat saya, etika tidak bisa diukur. Etika itu sesuatu yang bisa

dirasakan, abstrak, tak bisa dilihat, tapi ia punya proksi atau turunan. Trust,

integritas, setia kawan, memenuhi janji, transparan, tertib, jujur, dll., semua itu

bagian dari etika. Etika sulit diukur. Tapi proksi atau turunannya, dapat.


Bagaimana mengukur keberhasilan etika saat di BRR? Sekali lagi, saya bisa

jawab itu dengan mudah: tidak mungkin! Tapi, jika proksi dari etika yang dipakai untuk memberikan gambaran tingkat ketercapaian, itu baru mungkin. Contoh proksi dari etika di BRR itu misalnya: jumlah tindak korupsi, jumlah

penyimpangan akibat salah penempatan orang dalam rumah, jumlah obat-obatan yang diselewengkan, atau jumlah fasilitas umum (rumah, kantor, sekolah) yang dibangun. Sudah jelas ya, yang dapat diukur itu adalah proksi-proksi, bukan etikanya.


Coda: Sebuah pertaruhan


Masyarakat Indonesia saat ini tengah dirundung pandemi Covid-19. Berkenaan

dengan itu, andai tiba-tiba nyelonong pertanyaan, bagaimana etika dalam

penanganan pagebluk itu? Jawaban saya: adalah penting untuk mengidentifikasi

terlebih dahulu sudut pandang apa yang dibawa.


Saya ini bukan dokter. Bukan ahli penyakit menular. Juga bukan ahli biologi

molekuler. Saya sekadar pernah didapuk memimpin Pemulihan Aceh-Nias. Sifat

bencana Aceh-Nias sudah barang tentu berbeda dengan sifat pandemi Covid-19.

Jika pun sebuah pandangan perlu disuarakan, saya cukup tahu diri untuk harus

ekstra hati-hati bertindak. Mengerem diri. Malahan, akan jauh lebih baik lagi bila saya tidak perlu bersuara, juga bersikap.


Integritas adalah soal pertaruhan. Atas nama Etika dan Integritas, sebagai seorang profesional, menyuarakan sesuatu di luar bidang kompetensi keprofesionalannya, itu adalah tindakan kurang bertanggung jawab.

3 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Daftar dan anda akan update terkait PEBOSS!
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey LinkedIn Icon
  • Grey Facebook Icon

© 2023 by Talking Business.  Proudly created with ADVANWix.com

bottom of page